Itong sekarang sedang ada di Subang, Jawa Barat. Berhadap-hadapan dengan siswa-siswi dari SMKN 1 Subang yang dari wajah-wajahnya kelihatan penasaran akan keberadaan Itong di sekolah mereka. Itong memang senang traveling dari satu kota ke kota lain. Mulai dari Raja Ampat, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, sampai minggu ini roadshow 5 kota di Jawa Barat. Bukan untuk hura-hura semata, tetapi juga berbincang dengan sebanyak mungkin orang tentang #SaveSharks.
Itong merupakan ikon dari sebuah kampanye penyelamatan hiu bernama #SaveSharks Indonesia. Sosok Itong sungguh menggemaskan -hiu dengan gigi yang tonggos dan tubuh yang berwarna biru.
Karena tonggos, Itong menggunakan kawat gigi sehingga Itong terlihat kekinian. Kaos kegemarannya adalah kaos oblong berwarna oranye.
#SaveSharks Indonesia berawal dari kegelisahan beberapa orang perihal beberapa spesies hiu di Indonesia yang berstatus terancam punah (endangered) atau rentan punah (vulnerable).
Hal ini karena hiu mengalami perburuan besar-besaran dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan TRAFFIC periode 2000-2010, Indonesia disebut sebagai penangkap hiu terbesar di dunia.
Di akhir 2010, tim dari Majalah Divemag Indonesia, salah satunya Riyanni Djangkaru, menjadi inisiator kampanye penyelamatan hiu.
Ketika kampanye ini mulai menggaung lebih keras, pada 2011, Itong Hiu lahir sebagai ikon #SaveSharks Indonesia. Harapannya, Itong yang berbehel dan menggemaskan bisa mencerminan image baru dari sosok hiu. Bahwa hiu tidak melulu menyeramkan, malah menyenangkan.
Kampanye ini memfokuskan diri kepada konsumen. Sebab, banyak konsumen yang selama ini mengonsumsi hiu, mulai dari daging, hati, hingga siripnya, tanpa mengetahui bahwa ternyata hiu berbahaya untuk dimakan, bukan memperkuat stamina, kejantanan, dan mengobati beragam penyakit.
Ada sekitar 500 spesies hiu di dunia. Ukurannya beragam, mulai dari yang hanya seukuran telapak tangan seperti hiu pigmi sampai sebesar bus antar provinsi, seperti hiu paus.
Kerangka mereka terbuat dari tulang muda yang ringan dan lentur, sebagian bisa mengapur.
Hiu ini memiliki sirip-sirip, seperti sirip punggung, sirip dada, dan sirip di bagian ekor, yang tugasnya membantu navigasi dan keseimbangan tubuh. Mereka memiliki 5 insang -kadang-kadang enam atau tujuh, tergantung spesiesnya, yang terletak di samping, belakang, atau kepala.
Itong bercerita, kalau ia bangga dengan lapisan kulit dermal denticles yang ia miliki. Dermal denticles bisa melindungi kulit dari luka, parasit, sampai menambah fungsi aerodinamika. Tapi, lepas dari ketahanan kulit mereka, hiu buang air kecil melalui kulit karena tidak memiliki kantong kemih.
Bagian menariknya, hiu memiliki beberapa deret gigi yang dapat selalu tumbuh setiap kali ada yang tanggal. Semasa hidupnya hiu bisa memiliki sampai 30.000 gigi!
Hiu mencapai usia dewasa di usia 5-15 tahun, dan bisa hidup hingga mencapai usia 70 tahun. Namun, hiu baru bisa bereproduksi ketika mencapai 15 tahun.
Hiu betina baru akan melahirkan rata-rata 10 ekor anakan dengan masa mengandung 2-3 tahun. Oleh sebab itu, perkembangbiakan hiu sangat lambat.
Perburuan yang dilakukan oleh manusia sebagian besar karena permintaan tinggi akan sirip hiu. Benarkah hiu berkhasiat untuk kesehatan jika dikonsumsi?
Itong disebut predator utama, berada di tingkat paling atas rantai makanan di ekosistem laut, Hiu menjadi gudang terakhir bagi seluruh racun di laut. Racun-racun itu berasal dari ikan-ikan yang tidak sehat atau mati di laut.
Secara ilmiah, daging hiu mengandung zat bernama methyl mercury.
Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environmental Protection Agency – EPA) menyatakan, kandungan merkuri yang maksimal mampu diterima tubuh manusia adalah 0.1 mikrogram/kilogram dari total berat badan.
Sementara, dalam 1 kg daging hiu terkandung sekitar 1.400 mikrogram merkuri. Ini sudah di atas batas aman yang mampu diterima manusia.
Lalu, apa yang terjadi jika manusia tetap saja mengonsumsi daging hiu secara terus-menerus?
Konsumsi merkuri yang berlebihan dapat menyebabkan kegagalan fungsi otak, kegelisahan yang besar, kerusakan ginjal, hingga kesuburan laki-laki. Bagi perempuan hamil, konsumsi merkuri dapat membahayakan janin dan memengaruhi otak serta sistem syaraf bayi.
Selain merkuri, hiu juga mengandung zat neurotoksin lain, yaitu BMAA. Zat ini dapat menyebabkan berbagai penyakit neurodegeneratif, yaitu penyakit penurunan pada fungsi otak manusia, seperti Alzheimer.
Hiu memang berbahaya, tapi hanya jika kita memakannya.
Faktanya, hiu adalah hewan yang dilindungi. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), memasukkan 12 jenis hiu dalam daftar appendix 1, 2, dan 3, yang berisi larangan memperdagangkan suatu spesies karena terancam punah, pengaturan pengelolaan spesies melalui aturan perdagangan yang ketat, serta perlindungan spesies setidaknya di satu negara anggota CITES.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) juga mendaftarkan sekitar 39 spesies hiu dalam Red List of Endangered Threatened Protected Species dengan beberapa klasifikasi berbeda, yaitu Critically Endangered, Endangered, dan Vulnerable.
Di antara spesies tersebut adalah hiu bidadari pasifik (Squatina californica), hiu biru (Prionace glauca), hiu abu-abu (Carcharhinus obscurus), dan hiu basking (Cetorhinus maximus).
Di Indonesia sebetulnya sudah ada beberapa undang-undang yang berpihak pada perlindungan hiu.
Seperti, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 18 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus dan Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 9 Tahun 2012 Tanggal 22 Oktober 2012 tentang larangan penangkapan ikan hiu, pari manta, dan jenis-jenis ikan tertentu di perairan laut Raja Ampat.
Sekarang, di Raja Ampat, telah diresmikan wilayah perairan seluas 4 juta hektar yang dinyatakan sebagai wilayah perlindungan hiu bersama negara antara lain Palau, Maldives, dan Honduras. Meski begitu, ternyata perburuan hiu tidak lantas berhenti. Eksistensi hiu masih terancam.
Di Pasar sekitar Pantai Santolo, Garut, saya melihat bayi-bayi hiu di atas tampah. Mati, dan dijual hanya puluhan ribu per ekor!
Banyak kawan dari seluruh Indonesia juga mengirimkan hasil temuan hiu yang diperdagangkan lewat jejaring sosial dengan menggunakan hashtag #WallofSharks.
Hiu-hiu beragam ukuran, mulai dari bayi sampai hiu dewasa, masih ada saja yang dijual di banyak tempat, mulai dari pasar ikan di Kendari, sampai swalayan di Jakarta.
Teman-teman #SaveSharks Indonesia, yaitu Fahmi Anhar, Vicho Prama, Karania Metta, Adhisty Prameswari, dan Wening Nurtiasasi, juga pernah berkeliling beberapa pantai di Bali, seperti Pantai Kedonganan, Pantai Kusamba Klungkung, Pantai Pesinggahan, Pantai Mertasari, Pantai Semawang, dan Pantai Serangan.
Kami kerap mengadakan perjalanan untuk mencatat wilayah yang masih memperdagangkan hiu, melihat spesies-spesies hiu yang ditangkap, metode penangkapannya, hingga mengetahui tangkapan-tangkapan lain yang juga sebenarnya dilindungi selain hiu, seperti manta atau lumba-lumba.
Untuk kemudian, hasil ini menjadi materi diskusi chief kami, Riyanni Djangkaru, dengan pejabat-pejabat terkait, seperti Kementrian Kelautan dan Perikanan, ketika membahas regulasi perlindungan hiu yang hingga kini belum juga diresmikan.
Oke, kembali ke penyelidikan lapangan kawan-kawan. Di antara pantai-pantai di atas, hanya di Pantai Kedonganan di Kabupaten Badung yang masih ditemukan penjualan hiu. Tepatnya di Pasar Kedonganan, pasar ikan terbesar di Bali yang berlokasi tidak jauh dari Bandara Ngurah Rai.
Di Pasar Kedonganan, kebanyakan yang dijual adalah ikan-ikan konsumsi, seperti tuna, baramundi, cumi-cumi, udang, lobster, dan kerang.
Meski begitu, Fahmi juga menemukan lapak yang menjual bayi hiu yang dihargai Rp40.000/ ekor.
Si nelayan, perantau asal Jawa Timur bernama Dimas, kabarnya menggunakan metode jaring super panjang dan besar yang ditebar di laut selatan Bali. Mereka akan menunggu selama 12 jam sampai tiba waktunya untuk mengangkat jaring itu.
Tangkapan utama para nelayan memang ikan-ikan konsumsi, tetapi ketika ada hiu yang turut tertangkap, mereka bawa pulang karena tahu nilai ekonomis siripnya.
Padahal, mereka tahu kalau hiu adalah hewan yang dilindungi. Ada sanksi dan denda berat jika melanggarnya. Tapi, toh mereka melanggarnya pula.
Sekali lagi, perburuan hiu yang merajalela karena ada permintaan yang tinggi dari konsumen. Untuk itu, dengan tidak memakan hiu, kita akan menekan jumlah permintaan akan hiu yang mungkin akan membuat para nelayan tidak lagi bersikeras menangkap hiu.
Mungkin, banyak yang berpikir, ‘Saya memang nggak makan hiu, kenapa juga mesti ikut kampanye #savesharks?’
Sebab, jika hiu punah, semua manusia tanpa terkecuali, turut merasakan dampaknya.
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), hiu sebagai objek pariwisata mampu menghasilkan lebih dari US$314 juta per tahun.
Dalam 20 tahun mendatang, jumlah pemasukan ini potensial untuk berlipat hingga kedua kalinya; hingga US$785 juta. Itu jika mereka hidup aman di laut.
Sementara, nilai hiu dalam bentuk hasil tangkapan kini sebesar US$630 juta per tahun, dan semakin lama semakin menurun.
Penurunan terjadi karena populasi hiu yang berkurang, dan tidak diimbangi oleh perkembangbiakan yang cepat.
Apa sebetulnya dampak jika hiu benar-benar punah?
Hiu berperan dalam menjaga keseimbangan dan kesehatan ekosistem laut dengan memangsa ikan-ikan dan invertebrata yang tua, lemah, dan sakit supaya laut tidak ikut sakit.
Overfishing hiu juga akan berdampak terhadap penurunan atau kepunahan sekaligus ikan-ikan konsumsi dan udang-udangan yang biasa kita makan, seperti cumi-cumi, lobster, udang, kerang, dan seafood lain yang enak-enak.
Tidak akan lagi ada pula terumbu karang yang sehat dan indah serta ikan-ikan yang berenang-renang di laut.
Jika hiu punah, laut akan hancur, terumbu karang rusak dan ikan-ikan sedikit demi sedikit punah dari laut. Laut akan serupa akuarium kosong berair keruh.
Jadi, masihkah perlu ada pertanyaan, untuk apa ikut serta kampanye #SaveSharks?
_____
Join us! Join #SaveSharks Indonesia!
1. Kunjungi website #SaveSharks Indonesia. Daftarkan diri kamu pada menu Volunteering di sini. #SaveSharks Indonesia kerap melakukan road show ke beberapa kota di Indonesia untuk kampanye penyelamatan hiu. Karena itu, kami butuh kamu sebagai volunteer.
2. Jika suka, silakan membeli merchandise-merchandise #savesharks di website #SaveSharks Indonesia. Dengan membeli merchandise, kita tidak hanya berkampanye dan menyosialisasikan, tetapi juga secara langsung menghidupi kampanye #savesharks ini.
3. Tetaplah berbagi info tentang #savesharks lewat social media kamu atau membuat pergerakan sendiri di dunia nyata, dengan atau tanpa bantuan #SaveSharks Indonesia. Jangan berhenti. Semisal, kirim tulisan kamu tentang #savesharks kepada kami atau gunakan hashtag #WallofSharks jika menemukan penjualan hiu di sekitarmu.