Mengapa Hobi Traveling Dianggap Buang-buang Uang?

'Enak ya kalau duit banyak, bisa jalan-jalan terus,' kata seseorang. Begitulah cap yang sering melekat pada orang yang hobi traveling.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Foto oleh WorldofWanderlust

Enak ya kalau duit banyak, bisa jalan-jalan terus,‘ kata seseorang.

Saya heran, entah kenapa di kalangan masyarakat kita, sebutan “traveler” seolah terkesan “wah”.

Traveler = artis

Seorang kawan saat pulang dari perjalanannya keliling Asia Tenggara seperti menjadi artis dadakan, semua orang mengerumuninya.

Dirinya sibuk menceritakan semua hal yang dia dapat diperjalanan -tidur di sleeper bus Hanoi – Sa Pa, Vietnam, berfoto dengan sepasang kakek-nenek warga lokal pemilik sebuah peternakan baik hati yang menawarkan tempat menginap di Thailand, atau menonton rombongan pengamen penari salsa di Ho Chi Minh City. Orang-orang disekelilingnya memperhatikan dengan tatapan takjub. Seseorang menyeletuk,’enak ya kalau punya uang banyak, bisa jalan-jalan terus, aku juga pengin.’ Yang lain mengiyakan.

‘Celetukan klise,’ pikir saya.

Saya memperhatikannya dari jauh, tak ikut berkerumun, karena saya tahu akan mendapat sesi ‘ekslusif”. Kami sering bertukar pikiran  sepulang dari perjalanan.

Kali ini dia baru saja selesai mewujudkan salah satu satu mimpinya sejak SMA : keliling Asia Tenggara dengan dana pribadi, bukan pemberian orang tua, hadiah atau apapun.

Dia menabung sedikit demi sedikit gajinya selama 1 tahun sebagai waiter di salah satu cafe terkenal kota ini. Selama 1 tahun pula dia menahan hasrat untuk tak bepergian kemanapun demi impiannya keliling Asia Tenggara. Dengan tabungan 3,5 juta rupiah yang akhirnya terkumpul dia sukses mewujudkannya.

Dia seorang wanita tangguh. Pengalaman pertama keluar negeri, keliling beberapa negara sekaligus, dan yang paling membuat saya kagum, dia bepergian seorang diri!

Dirinya hanya bermodalkan relasi. Menginap di tempat kenalan-kenalannya, para turis asing yang sering mampir ke cafe, bertanya di forum Facebook, juga couchsurfing.

***

Setelah agak sepi, dia menghampiri saya.

Halo Mbak traveler, konferensi persmu ramai,’ canda saya. Dia hanya tertawa.

Kami pergi ke cafe tempatnya bekerja.

Wah, Kakak traveler sudah pulang, mana oleh-olehnya?’ seorang teman kerjanya langsung menyapa sembari memeluk dan ritual cipika-cipiki layaknya wanita-wanita pada umumnya.

Duduk dipojok yuk, cappucino seperti biasa kan? Aku traktir,’ dia menghampiri teman kerja yang menggantikannya selama dia cuti untuk traveling keliling Asia Tenggara.

Uap panas dari cangkir cappucino saya dan teh hijaunya beradu di udara. Saya sering mengejeknya “nenek-nenek” karena kebiasaannya mengkonsumsi teh hijau. Bagi saya, teh hijau adalah minuman orang tua.

Jadi, bagaimana rasanya “luar negeri”, Kak Traveler?’ dia langsung memasang wajah tak senang.

Berhenti memanggilku seperti itu, aku tak suka.’

‘Jangan sebut saya traveler!’

‘Entah kenapa panggilan ‘traveler‘ membuatku risih,’ dia menatap saya tajam.

Saya mengangkat alis, bingung bagaimana menanggapi. Memang kata ‘traveler’ masih kurang umum, namun nampaknya tak ada yang salah dengan sebutan tersebut. Saya tak paham mengapa dia tak suka dipanggil demikian, apalagi dengan cap ‘wah’ dari kalangan masyarakat kita.

Aku merasa panggilan tersebut membuatku nampak menjadi seorang pemberontak. Ya, aku memang memberontak. Aku tetap berangkat meski dilarang oleh orang tuaku. Menyandang gelar “wanita” dan juga “traveler” di negeri ini tak membuat terlihat bagus. Adat disini membuat seorang wanita yang suka bepergian terkesan bukan wanita baik-baik.’

Ini pendapat pribadiku, aku tahu kamu tak akan terima,’ dia cepat menambahkan karena melihatku akan segera membantah ucapannya.

Diam adalah hal terbaik yang bisa saya lakukan saat itu. Saya memilih mendengarkan ceritanya dengan seksama.

Di luar sana sangat luar biasa. Teman-teman baru dari Kolombia di Khaosan Road, dan kau tahu anehnya rasa Ca Phe Trung, kopi yang dicampur putih telur khas Vietnam? Aku tak menyesal bepergian kesana,’ dia menyesap teh hijaunya pelan.

Aku hanya tak suka respon orang-orang yang berlebihan, yang membuatku seolah seorang yang ‘wah’, hobi foya-foya. Seenaknya mencap seorang tanpa tahu apa-apa. Apa mereka tahu perjuanganku menabung, irit makan, dan juga menahan tak membeli baju-baju baru hampir 1 tahun?’

Mereka hanya kagum pada keberanianmu,’ Saya coba memberi pandangan lain.

‘Begitukah? Aku tak merasa demikian,’ dia membuang pandangannya.

Saya berusaha mencerna maksud ucapannya.

Memang terkadang beberapa orang hanya melihat apa yang nampak didepan, mereka tak tahu bagaimana proses dibalik layar orang itu mencapai hal tersebut.

Orang-orang kita memang masih memandang traveling sebagai hal mewah. Piknik bukan kebutuhan utama, dan kadang dianggap buang-buang uang. Mereka bahkan tak paham bahwa perjalananmu kemarin dengan cara backpacking,’ saya menjelaskan perlahan.

Mungkin,’ dia hanya menjawab singkat.

Mungkin mereka kurang piknik,’ tambahnya cepat.

Saya tersenyum.

Sebenarnya, pada dasarnya tak penting mempedulikan apa kata orang, cukup terus melangkah tempat-tempat impian kita.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU