Masyarakat sekitar menyebutnya sarasah tujuah tingkek, yang berarti air terjun tujuh tingkat, tempat yang terletak di pedalaman hutan Bukit Barisan dan masuk dalam sebuah kawasan bernama Silaiang Bawah kota Padang Panjang Sumatera Barat. Air terjun ini benar-benar memiliki tujuh tingkatan tirai hidup menyerupai punden berundak raksaksa.
Saya bersama beberapa teman memulai perjalanan pada Minggu pagi. Seperti biasa ketika akan memulai perjalanan ke suatu tempat, kami selalu mendatangi salah satu rumah penduduk sekadar meminta izin. Dari penduduk kami mendapat informasi bahwa untuk mencapai sarasah tujuah tingkek itu ternyata harus menembus belantara Bukit Barisan yang belum banyak dilalui orang. Karena mengkhawatirkan keselamatan kami, penduduk itu menyarankan untuk membawa dua orang warga sebagai pemandu sekaligus pengontrol perjalanan kami yang tentu dengan senang hari kami terima saran tersebut.
Perjalanan mendapatkan air terjun tujuh tingkat diawali dengan mendaki Bukit Barisan yang terletak di tepi jalan raya Bukittinggi-Padang. Kami menembus belantaranya hingga sampai pada titik air terjun yang terletak pada tingkatan paling atas, kemudian kami menikmati sapuan air alaminya dengan cara menuruni dan menyusuri tiap tingkatan air terjun hingga sampai pada tingkatan terakhir.
Jalur menyusuri air terjun ini sangat curam hingga beberapa kali kami harus menggunakan webbing demi keselamatan. Kami juga harus melewati jalur yang berada tepat di sisi jurang dengan tekstur tanah tak padat yang sangat mudah terjadi longsor.
Dan ternyata untuk menuju jalan pulang, kami harus menyeberangi sungai yang memiliki arus deras. Lengkaplah perjalanan kami dari dataran tinggi hingga rendah.
Hutan belantara ini terkenal kental akan hal mistis. Ada beberapa pantangan di tempat ini. Selama perjalanan, saya dan teman-teman dilarang mengucapkan kata-kata yang tidak sewajarnya seperti bercakap-cakap kotor dan mengumpat atau dalam bahasa Minang disebut dengan bacaruik. Masyarakat meyakini bahwa hutan tersebut memiliki kehidupan lain yang tidak menginginkan kehadiran manusia, untuk itu pemandu menyarankan agar kami menjaga bahasa dan perilaku selama berada di dalam hutan termasuk tidak diperbolehkan tertawa terlalu girang agar kehadiran kami tidak menganggu kehidupan lain di belantara tersebut.
Jam “kunjungan” kami pun dibatasi hanya hingga pukul 17.00 WIB, pemandu mulai meminta kami untuk keluar dari rimba sekitar pukul 15.30, dan kami juga harus menghentikan aktivitas sejenak tepat pada pukul 12.00.
Artikel Terkait: Eksotisme Tersembunyi Pulau Toran ini Akan Menggodamu Untuk Berkunjung
Setengah jam menyusuri perkebunan sayur penduduk, tibalah kami di hutan sesungguhnya. Ini bukan pertama kalinya saya mengikuti ekspedisi ke dalam hutan, tapi ini pertama kalinya saya menembus belantara hutan yang begitu rapat. Semak belukar yang tumbuh subur membuat jalur pendakian nyaris tidak terlihat, menandakan bahwa hutan ini masih sangat jarang dilalui manusia.
Hutan yang rapat dan suhu yang lembab adalah kombinasi tepat untuk pacet berkembang biak. Benar saja, baru berapa menit berjalan menyusuri belantara itu saya merasakan ada beberapa kehidupan lain yang tengah berpesta di kaki saya. Begitu tiba di sebuah tempat yang sedikit lapang untuk istirahat, seketika saya menyadari bahwa kaki saya sudah berlumuran darah, bukan karena terluka melainkan karena beberapa ekor pacet tengah berpesta pora di kaki saya. Dari total tim sebanyak 15 orang, tak ada satu pun yang berhasil menyelamatkan darahnya, bahkan beberapa rekan saya menemukan sang pacet juga bersarang di punggung, leher, bahkan perut mereka.
Belum hilang dendam dengan pacet, ternyatakami harus mendapat cobaan berikutnya yaitu ketika harus menerjang habitat Jelatang.
Jelatang adalah jenis tumbuhan yang banyak hidup di wilayah dengan kelembaban tinggi. Di dalam daunnya yang bermiang terdapat zat yang dapat menyebabkan rasa gatal disertai rasa pedih dan panas jika terkena kulit. Jelatang ada yang berbatang dan ada juga yang menjalar, namun Jelatang yang saya temui di belantara hutan Bukit Barisan tergolong pada Jelatang berbatang dengan daun lebar.
Saya adalah salah satu korban karena menerjang jelatang di belantara hutan Bukit Barisan. Kaki dan tangan saya yang bersenggolan dengan jelatang langsung muncul bintik-bintik merah, gatal, pedih dan panas. Saya masih tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya, saya hanya membiarkannya hingga satu minggu sampai rasa yang luar biasa tersebut hilang dengan sendirinya.
Rasa benci terhadap pacet dan jelatang membuat saya berpikir bahwa ini benar-benar jauh dari kategori piknik akhir pekan. Jangan bayangkan bahwa untuk mendapatkan tirai hidup dengan tujuh tingkatan di Silaiang Bawah ini adalah ajang menikmati akhir pekan belaka, jauh dari itu saya mendapatkan pengalaman yang luar biasa dimana rasa lelah, rasa sakit, dan rasa jijik harus dikelola sedemikan rupa agar misi tetap berjalan dengan baik dan tidak sia-sia.
Setelah sampai di tujuan bukan berarti bahwa saya telah terlepas dari ganasnya belantara Bukit Barisan. Di tiap titik air terjun masih terus saya jumpai pacet menari disana sini hingga cukup membuat saya benar-benar enggan untuk duduk di bebatuan sekedar melepas lelah.
Salah satu pengalaman yang tidak terlupakan adalah ketika saya menjadikan dua buah ranting pohon sebagai sumpit untuk makan bekal yang sengaja kami bawa dari rumah, namun ternyata setelah beberapa kali suapan saya baru menyadari bahwa dalam sumpit yang saya buat dari ranting tersebut juga terdapat seekor pacet yang tengah menggeliat!
Dan sebagai penutup hari yang luar biasa kala itu, saya harus kembali berseteru dengan ribuan pacet dan terjangan jelatang yang sudah menunggu kami di sepanjang jalur pulang hingga kami kembali tiba di tepi jalan raya lintas Bukittingi-Padang.
***
Jangan berpikiran untuk piknik jika berencana ke tempat ini. Disini akan kamu temukan arti dari sebuah petualangan sesungguhnya.
Artikel ini juga bisa dibaca di Malesbanget.