Kopi Lelet Lasem : Bukan Sekadar Ngopi

Banyak cara menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok, salah satunya adalah "ngelelet", cara unik menikmati keduanya secara sekaligus

SHARE :

Ditulis Oleh: Akhfa Irawan

Libur semester kemarin dua orang teman kuliah ada yang berkunjung ke rumahku di Lasem. Awalnya mereka hanya ingin jalan-jalan saja, mengunjungi beberapa tempat wisata di Lasem.

Pagi hari ku ajak mereka ke pantai untuk melihat pemandangan deretan pohon cemara laut dipadu ombak yang bersahabat ciri khas laut Jawa. Sebenarnya kami mengincar sunrise, tapi apa daya kami bangun kesiangan.

Di perjalanan ke pantai salah seorang teman terlihat serius memperhatikan sebuah kelenteng yang memiliki ukiran kayu klasik berwarna-warni di bagian depannya. “Kelentenge apik, dolan kene sik wae”, menurut temanku kelentengnya bagus dan mengajak masuk untuk melihat-lihat.

Kamipun masuk ke halaman depan kelenteng dan bertemu seorang pengurus kelenteng tersebut untuk meminta ijin masuk ke dalam kelenteng. Tak hanya diizinkan masuk kami juga didampingin pengurus kelenteng tadi dan dijelaskan beberapa hal mengenai kelenteng tersebut.

Kelenteng yang kami kunjungi benama Cu An Kiong, dibangun sekitar abad 16 dan konon merupakan kelenteng tertua di Lasem. Di dalamnya terdapat ukiran cukup mendetail dengan warna antik yang tidak terlalu cemerlang. Kami juga melihat deretan lukisan diatas keramik. Menurut penuturan pengurus kelenteng tintanya didatangkan langsung dari Cina.

Bisa dibilang Lasem memiliki banyak warisan budaya. Peninggalan-peninggalan bangsa Cina seperti kelenteng adalah salah satunya. Ada yang masih terawat dan beberapa kali dipugar, ada pula yang hanya tinggal cerita karena tergerus modernisasi.

Puas melihat-lihat isi kelenteng beserta ceritanya kamipun mohon diri. Kami berterimakasih pada pengurus kelenteng untuk keramahannya lalu menuju tempat tujuan utama yaitu pantai. Di pantai temanku nyeletuk, “pantai ki wis mainstream, sing anti-mainstream koyo kelenteng mau ono rak?”. Temanku bilang kalau pantai sudah terlalu biasa dan menanyakan ada tempat tidak biasa dan unik seperti kelenteng tadi atau tidak.

Setelah berpikir beberapa saat aku jawab “Ada. Warung kopi!”. Aku sedikit beseru, sengaja biar meraka heran. Seperti dugaanku, mereka bertanya-tanya unik darimananya warung kopi itu. “Wis melu wae” Ayo ikut saja, Tambahku.

Kami bergegas pulang dan segera bersih diri lalu sarapan pagi. Agak siang kami berangkat menuju salah satu warung kopi lelet khas Lasem. Di perjalanan ku jelaskan sedikit bahwa mereka harus mencicipi sajian kopi Lasem dan mencoba ngelelet.

Rasa kopi Lasem seperti rasa kopi khas pedasaan, pekat dan pahitnya tersisa lama di lidah. Ada kenikmatan tersendiri menikmati kopi Lasem dalam keadaan panas. Caranya, kopi panas dituangkan pada tatakan cangkir lalu meminumnya sampai terdengar suara “sruuuuttt”.

Di kedai-kedai kopi di kota mungkin hal tersebut akan memalukan, tapi di warung kopi Lasem itu adalah kenikmatan. Maka jika berkesempatan mengunjungi atau melewati kota Lasem, coba sempatkan menikmati secangkir kopi panas khas Lasem ini.

Masyarakat Lasem biasanya datang ke warung kopi untuk melepas penat dan berkumpul dengan teman untuk mengobrol. Ngopi di Lasem tidak tergantung waktu, baik pagi, siang, dan malam warung-warung kopi di Lasem selalu banyak pengunjung. Dari kebiasan inilah lahir budaya ngelelet.

Kami sampai di warung dan aku langsung memesan 3 cangkir kopi. Pesanan datang dan pertunjukan dimulai.Aku meminta mereka untuk segera menghabiskan kopi, lalu menuangkan ampas kopinya di tatakan cangkir.

Mereka memperhatikanku mengambil tissu dan meletakkan diatas ampas kopi tadi. Ku jelaskan hal tersebut berfungsi untuk mengurangi kadar airnya.

Kemudian menambahkan susu untuk sedikit mengentalkan serta sebagai perekat saat ditempelkan di batang rokok. Diaduk secukupnya dan jadilah adonan lelet.

Adonan yang sudah jadi kemudian digunakan sebagai ‘cat’ untuk melukis. Caranya dengan menggunakan tusuk gigi yang dicelupkan di adonan, kemudian digambar di kertas rokok dengan berbagi motif dan pola. Ada juga yang menggunakan benang jahit untuk membuat lapisan kopi yang tipis.

photo from http://usemayjourney.wordpress.com

Semua proses sudah kutunjukkan dan kedua temanku mulai mencobanya. Ya, namanya sedang belajar harus ada gagalnya. Aku tertawa saat salah seorang temanku mencoba ngelelet di rokoknya tapi kemudian rokoknya patah.

Adonannya ternyata terlalu encer sehingga terlalu membasahi tembakau didalamnya dan menyebabkan rokok patah. Namun setelah mencobanya lagi mereka terlihat puas dengan pengalaman barunya.

Karena aku bukan perokok, aku meminta kedua temanku mencoba menghisap rokok hasil leletan-nya dan meminta kometarnya. Kedua temanku berkomentar sama kalau rokok hasil leletan memiliki rasa yang berbeda, ada aroma kopinya dan sedikit berat saat dihisap. “Mantep pokoke”, tambah mereka.

Ada satu hal kunci dari budaya ngelelet ini, yaitu serbuk kopi yang sangat lembut. Biji kopi yang sudah digoreng biasanya bisa digiling sampai 5-6 kali. Karena serbuk kopi yang seperti tepung inilah ampas kopinya bisa digunakan untuk ngelelet.

Budaya ngelelet khas Lasem kini menyebar karena banyak orang asli Lasem yang mendirikan usaha warung kopi di daerah lain. Siapa sangka kebiasaan berkumpul di warung kopi membuat kota yang bahkan tidak punya kebun kopi terkenal karena budaya kopinya.

Warung kopi Lasem mampu menggabungkan kebiasaan berkumpul dan kopi menjadi budaya yang unik dan sangat jarang ditemui yaitu kopi lelet. Memang benar, hal kecil yang tak diperhatikan seringkali menyimpan sebuah kejutan.

Sebagian orang menyebut budaya kopi lelet ini dengan sebutan mbatik atau membatik. Hal ini mungkin dikarenakan kegiatan ngelelet pada batang rokok ibaratnya seseorang membatik di kain.

Tentu ada kaitannya juga dengan Lasem, karena Lasem dikenal dengan sentra batik tulisnya yang kemudian menjadi inspirasi saat ngelelet.

Di Lasem, warung kopi juga sebagai tempat ajang menciptakan karya seni. Seni ngelelet yang sangat khas kemudian menjadi identitas kota Lasem. Meskipun sekarang banyak dijumpai di daerah lain, kopi lelet masih asli Lasem.

Kopi sudah habis, kedua temanku pun sudah puas belajar ngelelet dan menikmati rokok hasil leletan sendiri. Kami lalu bergegas pulang, setelah membayar tentunya. Kedua temanku sempat kaget dengan harganya jika dibandingkan dengan kedai kopi di daerah tempat kuliah. Sangat murah untuk secangkir kopi dan pengalaman ngelelet yang berharga.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU