Kisah Dibalik Layar Semaraknya KAA 2015 Bandung

Gegap gempita KAA 2015 Bandung telah usai. Ada banyak kisah dibalik penyelanggaraan konferensi tingkat dunia ini.

SHARE :

Ditulis Oleh: Ashadi Natha Prasetyo

Foto oleh Adam Erlangga

Kota berjuluk Paris van Java ini menyimpan banyak cerita. Banyak yang mendengar kota ini terkenal dengan mojang anu geulis -wanita yang cantik, kota fashion, kota kuliner, serta kota kreatif. Tapi apakah ada yang tahu kalau masyarakat Bandung mudah untuk diajak gotong royong?

Semua berawal dari bergantinya pucuk pimpinan Walikota Bandung.Dengan program-program yang telah dicanangkan oleh Pak Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung yang baru, beliau bertekad untuk membuat Bandung yang lebih baik.

Bandung harus jadi kota juara! Bandung Juara!” begitulah slogan yang selalu dikeluarkan dari mulut Ridwan Kamil. Dari program yang dicanangkan terdapat program yang bernama GPS (Gerakan Pungut Sampah). Beliau pun tak segan-segan turun dan memunguti sampah yang ada dan tak lupa juga untuk mengajak masyarakat sekitar untuk menjaga lingkungan-nya bersih dari sampah. Rasa cinta pada tanah kelahiran sendiri coba ditanamkan pada semua masyarakat Bandung.

Tanggal 24 April 2015, peringatan 60 tahun KAA (Konferensi Asia Afrika) dikumandangkan dan Bandung menjadi tuan rumah dalam perhelatan akbar ini. Saya ingat kala itu, Kota Bandung hanya memiliki waktu kurang dari 2 bulan dalam mempercantik diri menyambut KAA.

Hayu ngiluan bray, ambeh rame acarana! (Ayo kita ikutan, biar ramai acaranya)!” Begitu kira-kira anak-anak muda di Bandung mengajak teman-temannya. Ajakan di media sosial tidak kalah ramai. “Ayo kapan lagi jadi relawan KAA! Siapa tau dapat jodoh! Nomor boleh minta tapi jodoh jangan ditolak!” Seperti itu gambaran ajakan untuk bergabung menjadi relawan. Antusiasme meliputi warga Bandung tanpa mengenal batas umur, golongan, pendidikan, latar belakang pekerjaan.

Panas terik, hujan melanda Kota Bandung secara bergiliran. Tapi semangat tidak pernah padam demi mempercantik Kota Bandung yang akan menyelenggarakan KAA. Pak Wali terus memberi semangat kepada masyarakatnya.

Relawan tidak dibayar bukan karena mereka tidak berharga, tapi karena mereka berharga!”

Ada beberapa cerita dibalik persiapan KAA ini yang tak banyak orang tahu. Menjelang KAA, poster bergambarkan Nelson Mandela dan Soekarno mulai dipasang dipinggir-pinggir jalan. Beberapa orang mengagumi poster-poster tersebut, namun tak banyak yang tahu siapa sosok dibalik pembuatan poster tersebut. Poster-poster itu ternyata adalah karya dari salah satu mahasiswi universitas di Bandung yang dibantu oleh Pak Wali untuk mengumpulkan dana demi mimpinya untuk melanjutkan studi di Inggris.

Makin mendekati hari H, kolaborasi antar warga makin solid. Tua, muda, pria, wanita, semua melebur menjadi satu dalam semangat gotong royong. Ajakan Pak Wali untuk mengecat gedung-gedung tua tak diabaikan warga. Dengan peluh yang menetes, para pria ulet dan tekun mengecat tembok dan trotoar. Sesekali mereka menyeka wajah yang dbanjiri keringat dan mulai memerah terpapar sinar matahari. Para ibu sibuk menyapu jalanan, menata taman, dan mempersiapkan hidangan kecil beberapa gelas minuman dan panganan ringan.

***

Ih eta alus! Siga di luar negeri! Cing atuh potokeun urang lah (Wah itu bagus, tampak seperti di luar negeri! Tolong dong saya di foto)!” terdengar suara seorang pria kepada temannya. Mendadak Jalan Asia Afrika dipenuhi lautan manusia. Banyak orang terkagum-kagum dengan kembalinya ikon Kota Bandung yang lama telah pudar.

Seperti peribahasa ada gula ada semut, begitulah kira-kira gambaran Kota Bandung. Memanfaatkan keramaian ini, banyak segelintir mencoba mengambil keuntungan dengan berdandan ala Charlie Chaplin dan hantu sundel bolong. Kehadiran 2 tokoh ini seakan menjadi selebritis dadakan. Banyak orang yang berfoto dan memberi uang seiklasnya, banyak pula orang-orang yang menjerit histeris ketika melihat tokoh hantu di siang bolong.

***

Euforia KAA telah berlalu, warga Bandung kembali beraktivitas seperti biasa. Kebiasaan warga Bandung untuk bergotong royong tetap terlihat pada hari Senin, Rabu, Jumat. Tentunya masyarakat tidak ingin melihat kotanya mendapat julukan Kota Lautan Sampah seperti dulu. “Paling tidak membuang sampah pada tempatnya, cukup membantu untuk mengurangi sampah.”

Kota Bandung sekarang tidak hanya dikenal sebagai Paris Van Javanya saja, tetapi juga dikenal sebagai kota yang ramah masyarakatnya. Kota yang sangat dicintai oleh masyarakatnya. Kota yang mampu mengembalikan semangat gotong-royong masyarakatnya tanpa mengenal batas. Salam dari Bandung untuk Indonesia Jaya!

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU