"Mengapa MAPALA/OPA Identik dengan Kekerasan?"

Benarkah MAPALA identik dengan kekerasan?

SHARE :

Ditulis Oleh: Ardin Makarim

Belakangan ini kita banyak melihat berita-berita mengenai kekerasan di sebuah organisasi MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam) , tak perlu disebutkan, ya, saya khawatir akan ada pihak yang tersinggung.

Foto dok. pribadi penulis

Apa yang dilihat atau dibaca oleh netizen memang begitu adanya berita, “MAPALA Menewaskan 3 Siswa Diksar”, seolah-olah itu tujuan para MAPALA mengadakan Diksar (pendidikan dasar -red). Bahkan kalangan artis dan komentator media sosial pun ikut meramaikan topik ini.

“…yang jelas di alam itu gak perlu orang yang kuat namun yang ramah dan mencintainya. Jadi alasan ampe disiksa apa?”

“Hari gini masih jaman perpeloncoan di MAPALA?”

“Katanya pencinta alam, tapi ga mencintai sesame manusia”

Semua cercaan begitu saja menghantam, seolah-olah MAPALA bahkan MAPALA yang sedang dilanda musibah tidak pernah berbuat secuilpun kebaikan. Bukan maksud hati ingin ujub, tapi tanpa pamrih MAPALA mana yang melakukan pencitraan dan publikasi saat mereka sedang melakukan operasi SAR, menjadi relawan saat bencana, membangun desa bersama, melakukan penelitian untuk sumbangsih kekayaan ibu pertiwi? Yang (sekarang -red) orang-orang awam tahu, ‘mengapa MAPALA atau OPA (Organisasi Pecinta Alam -red) identik dengan kekerasan?’

Buat kalian yang berstatus anggota MAPALA atau OPA, pasti kesal dengan tanggapan miring yang bertubi-tubi, anggap saja ini cobaan. Mereka menyamaratakan semua MAPALA dengan kekerasannya.

Tulisan ini bukan untuk membela dugaan seorang panitia Diksar yang menghukum dengan kekerasan hingga menghilangkan nyawa peserta. Saya hanya akan menjelaskan pada orang-orang yang hanya melihat kami (MAPALA -red) dari “luar”, mereka yang melihat seolah kami adalah organisasi yang identik dengan kekerasan.

***

Saya pernah menjadi siswa dan panitia Diksar. Ingin membentuk mental dan fisik yang kuat kepada siswa adalah salah satu tujuan Diksar itu sendiri di sebagian atau bahkan seluruh MAPALA. Kenapa harus mental dan fisik? Karena saat fisik kuat tapi mental lemah, maka apa yang akan dilakukan hanya menjadi angan. Sebaliknya, saat fisik lemah namun mental kuat, ada berbagai ketidakmungkinan yang dapat menjadi mungkin. Lalu, mental dan fisik yang kuat adalah hal yang penting jika berbicara aktvitas alam bebas, karena nyawa adalah taruhannya.

Apa yang saya tuangkan di sini berdasarkan pengalaman pribadi dan dari cerita teman-teman MAPALA lainnya yang memiliki pola yang sama saat kegiatan Diksar. Kami kerap berbagi bagaimana pola pendidikan yang seharusnya dan sebaiknya diterapkan. Ada banyak sistem dibentuk oleh para MAPALA dengan apiknya, sebuah sistem sempurna akan rusak ketika oknum-oknum di dalamnya tidak menjalankan sesuai dengan prosedur.

Bagaimana membentuk mental dan fisik yang kuat? Bukan dengan memukuli, menelanjangi, menendang dan kekerasan fisik seperti yang diduga banyak orang akhir-akhir ini, sesuatu yang benar-benar keras menurut saya sebagai perempuan. Salah satu cara kami membentuk mental dan fisik yang kuat adalah membuat jalur long march yang akan ditempuh siswa Diksar dengan perbekalan yang telah disediakan oleh panitia. Saat jalan berpuluh-puluh kilometer, siapa yang tidak akan merasa lelah dan putus asa? Bagi yang tidak kuat mentalnya, sudah termehek-mehek pasti mereka. Lalu di saat mental lemah, ada sebuah tujuan yang akan menjadikannya kuat lagi, ada sekelompok saudara-saudara baru yang akan saling menguatkan apapun kondisinya. Selain long march, ada pula ‘wahana’ untuk rappelling dan prusiking. Ini juga untuk menguji mental dan kekuatan fisik, kalau siswa takut ketinggian, ia harus berani menaklukan rasa takutnya. Panitia selalu memeriksa kesiapan siswa sebelum mengaplikasikan langsung teknik rappelling dan prusiking, karena panitia sadar keselamatan siswa ada di tangan Tuhan dan panitia itu sendiri.

Sebelum para siswa berangkat pendidikan dasar, mereka juga dibekali dengan bahan-bahan makanan yang mereka rencanakan sendiri sebagai aplikasi kemampuan mereka dalam management food and water. Di sebagian MAPALA lainnya ada juga yang mempersiapkan siswanya untuk survive di alam bebas dengan bahan makanan secukupnya. Semua tergantung tujuan dari masing-masing MAPALA tersebut.

Ada sebuah rahasia besar yang tidak boleh diketahui oleh siswa: 1 x 24 jam selalu ada tim medis handal yang terbangun untuk memantau kesehatan siswa, mereka selalu ‘disembunyikan’ panitia, agar tidak manja dengan mengeluh sakit ini dan itu. Di setiap jalur long march, bukan berarti siswa dilepas begitu saja, kalau para siswa itu teliti ada panitia yang menjaga jalur-jalur rawan nyasar atau berbahaya bagi keselamatan.

Panitia Diksar akan mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin. Hal ini juga dilakukan oleh panitia untuk menjaga keamanan siswanya. Mereka mencoba jalan di jalur long march! Siapa yang menyangka kalau senior mereka nanti ternyata mencicipi perjalanan yang jauh sama dengan siswanya. Semua disimulasikan, long march, prusikking, rappelling, navigasi darat, ppgd, dan masih banyak lagi.

Lalu kenapa masih ada korban saat Diksar? Kemungkinannya ada 3; faktor alam, faktor kesehatan dan human error. Faktor alam adalah adanya kejadian alam seperti badai, banjir, gempa hal-hal semacamnya yang tidak terprediksi. Lalu ada faktor kesehatan, apakah saat berangkat siswa telah terbukti sehat jasmani? Terakhir ada human error, di mana kelalaian manusia yang mengakibatkan musibah itu sendiri, seperti tidak menggunakan perlengkapan safety saat berkegiatan, tidak disiplin pada waktu skenario yang telah dibuat, dan masih banyak lagi.

Untuk kasus kali ini, secara pribadi saya yakin panitia sudah mempersiapkan dan merencanakan kegiatan Diksar. Bagaimana mungkin ada sekelompok orang bertujuan baik untuk menjaga dan melestarikan alam tiba-tiba berubah arus menjadi kekerasan. Apakah semua anggota akan mengamini kekerasan tersebut? Kasus yang tengah ramai sekarang ini mungkin saja terjadi karena ulah beberapa oknum, bukan keseluruhan anggota MAPALA.

Kadang kita kurang bijak mengambil dan mencerna berita. Kalau boleh jujur, saya juga sakit mendengar teman satu kode etik ini melibatkan kekerasan fisik, karena orang-orang beranggapan semua MAPALA seperti itu. Tapi, sebelum hasil penyelidikan keluar, saya berusaha berpikir positif bahwa itu semua bukan kesalahan sistem mereka, tapi oknum-oknum di dalamnya. Semoga kekerasan fisik di bidang apapun tidak terulang lagi.

***

*) Opini kontributor ini adalah tanggungjawab kontributor, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Phinemo.com

Suka mendaki gunung? Ini artikel menarik lain tentang pendakian:

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU