Musim Pancaroba kala itu, saya dan beberapa kawan bersiap berangkat ke Pulau Tunda, Banten. Kami bergabung dengan rombongan lain dengan cara share cost.
Sepanjang perjalanan menuju pulau, aroma laut tercium jelas, semakin jauh dari pelabuhan, semakin berasa kecil lah kami di lautan luas ini. Langit biru, laut biru, untung perahu kami tidak berwarna biru. Ada lumba-lumba melompat di sebelah kanan! Mereka berkejaran, lalu menghilang di lautan.
Perjalanan dari Karangantu sampai dermaga Pulau Tunda memakan waktu dua jam. Semntara dari dermaga menuju penginapan yang terletak di sisi barat pulau, membutuhkan waktu sekitar 15 menit jalur laut. Menjelang petang kami bersiap menuju penginapan dan camp area.
Akan tetapi, cuaca mulai tak bersahabat, matahari mulai terhalang awan, angin cukup kencang dan gelombang menjadi tinggi, kapal yang kami tumpangi kesulitan untuk melawan arus dan membuat kapal terombang-ambing.
Kapal tak bisa merapat ke penginapan. Kapten kapal membawa kami kembali ke Dermaga Pulau Tunda dengan alasan keamanan.
Karena tak sabar harus menunggu esok pagi, kami memutuskan untuk menyusuri pantai dengan jalan kaki alias trekking, meski sebenarnya kami tak memiliki persiapan apapun untuk trekking, terlebih di malam hari.
Terdengar nekat memang, tapi hal-hal spontan seperti inilah yang membuat perjalanan menjadi menyenangkan.
Trekking diawali dengan melewati perkampungan Pulau Tunda menuju mercusuar. Kami harus melewati jalanan pasir dan bebatuan di sekitar rumah-rumah penduduk.
Setelah berjalan cukup lama, beberapa meter dari mercusuar, di bibir pantai, ada sebuah batang pohon kelapa rubuh yang bisa dijadikan tempat duduk, juga ada jaring ayunan kecil yang diikatkan diantara dua pohon. Lumayan untuk beristirahat.
Kami memutuskan untuk melepas lelah, sekedar melemaskan otot kaki yang mulai kaku. Dibarat sana, cahaya matahari senja merekah dengan indahnya.
Senja yang romantis meski agak bau amis. Makhluk laut memang menyebabkan air laut beraroma khas bukan?
Melihat langit yang mulai gelap dan suhu yang mulai dingin menusuk, kami putuskan untuk bergegas.
Kami membentuk satu banjar dan berjalan di tepian. Langit sudah berubah gelap namun penginapan kami tak juga menampakan batang hidungnya.
Di hadapan kami hanya laut yang tak lagi berwarna biru dan beberapa tanaman bakau di sisi kanan. Jika jatuh ke sisi kiri kami akan basah kuyup dan yang lebih menyeramkan, kami bisa saja terseret ombak.
Bermodal senter yang hanya beberapa, kami tetap harus maju meski laut mulai pasang dan ombak terus terusan menghantam kami yang berjalan, membuat kaki semakin sulit melangkah.
Entah sudah berapa lama kami berjalan, mulai dari tepian pasir yang tak terkena air, sampai kini air sudah melebihi betis kami. Awalnya saya pikir kami berjalan makin ke tengah, ternyata tepian tempat kami berjalan mulai terendam laut yang mulai pasang.
Kami harus bergegas. Semakin lama orang paling depan melangkah, menyebabkan orang di belakangnya tenggelam lebih tinggi, lebih sulit melangkahkan kaki.
Suasana tenang tiba-tiba berubah mencekam. Terdengar suara teriakan. Seorang wanita terjatuh!
Untung beberapa kawannya sigap menggenggam tangan si wanita. Hanya sandalnya yang hanyut terseret ombak.
Rasa takut tiba-tiba menyergap. Bagaimana jika salah satu dari kami ada yang hanyut? Ombak semakin kuat dan gelap. Suara ombak yang senja tadi terdengar menenangkan, tiba-tiba terasa begitu menakutkan.
Hutan di sebelah kanan juga membuat hati ini was-was. Lebat dan tak ada cahaya sedikitpun selain dari cahaya senter di belakang. Kulirik belakang, si wanita tadi melanjutkan perjalanan tanpa alas kaki.
Saya mencoba menguatkan mental sendiri.
‘Sebentar lagi pasti sampai, tak akan hujan, tidak apa-apa, nikmati petualangan ini!’
Kami basah kuyup. Angin semakin kencang, dan saya yakin dalam hati, kami semua berdoa agar tak turun hujan malam ini. Perasaan saya memburuk.
Saya mulai lelah dan ingin menyerah, tapi saya ada di barisan depan, jika saya berhenti terlalu lama, itu akan menghambat teman-teman lain. Langkah kaki semakin berat karena pakaian yang melekat di badan basah dan berpasir.
Sepatu converse saya pun sudah penuh pasir sekarang, ada beberapa kerikil masuk sepertinya, membuat sakit setiap pijakan. Teman-teman di belakanglah yang terus menyemangati dan memberi saya energi untuk tetap berjalan.
Kami semua harus sampai sebelum air laut benar-benar pasang dan menenggelamkan kami. Laut itu memang menakutkan saat seperti ini, berbeda sekali dengan pemandangan siang hari dengan airnya yang biru jernih.
Pikiran mulai membayangkan hal-hal aneh. Kaki dan kepala terasa sangat berat.
Tiba-tiba orang paling depan berteriak, ‘ kita sampai, penginapannya terlihat!’
Samar-samar terlihat penginapan kami di kejauhan. Semangat kami kembali setelah lelah berjalan kaki. Kami berlari menuju penginapan dengan langkah ringan. Hilang semua kecemasan dan letih berjalan tadi.
Matahari telah terlelap, langit gelap dan angin semakin kencang. Kami bergegas masuk penginapan. Sebuah kejadian tak terduga, membuat kami rombongan besar yang harus menyewa 5 angkot untuk berangkat tadi menjadi kompak. Sebuah pengalaman tak terlupa dalam hidup.
Namun jika boleh memilih, saya tak akan lagi trekking menyusuri pantai di malam hari. Cukup kali ini saja.
Perjalanan kali ini benar-benar menyadarkan saya bahwa kita tak boleh sombong dihadapan alam.