Ini yang Terjadi Saat Internet (dan Sosial Media) Mengontrol Travelingmu

Internet dan sosial media memiliki peran besar dalam perkembangan dunia traveling, baik dalam hal positif, maupun negatif. Efek negatif? Tentu, akan selalu ada efek samping dari sebuah perubahan bukan?

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Internet dan sosial media memiliki peran besar dalam perkembangan dunia traveling, baik dalam hal positif, maupun negatif.

Efek negatif? Tentu, akan selalu ada efek samping dari sebuah perubahan bukan?

Internet dan sosial media telah merubah cara orang memaknai suatu perjalanan. Lebih dari itu, bahkan telah merubah ‘traveling’ itu sendiri. Ini yang terjadi dalam dunia traveling setelah internet dan sosial media merajalela.

 

1. Tak ada lagi istilah ‘kabur dari pekerjaan sejenak’

‘Bos, minggu depan saya cuti, mau liburan bareng keluarga’

‘Oh oke, ada koneksi internet kan di sana? Bawa laptop ya, nanti tetap stand by cek email.’

‘…….’

Pernah mendengar istilah ‘refresing sejenak dari runititas’? Masa sekarang dan mendatang hal tersebut mungkin akan susah dilakukan. Makin meratanya jaringan internet hingga pelosok memang memudahkan, baik bagi masyarakat setempat, juga memudahkan bos-mu.

Traveling sekarang adalah istilah lain dari ‘kerja jarak jauh’ bagi para karyawan kantoran yang sering diburu deadline pekerjaan. Jangan harap liburanmu akan tenang dengan email atau instruksi bos yang sewaktu-waktu muncul di smartphonemu. Bahkan panggilan rapat daring mendadak dari teras bungalowmu di tepi pantai tak akan membuatmu heran lagi, itu akan menjadi hal sangat biasa mulai sekarang.

 

2. Kita akan menjadi golongan pejalan yang sekadar ‘menjalani’, dan tak lagi ‘mengalami’

Istilah ‘menjalani’ dan ‘mengalami’  digunakan Eva Bachtiar, salah satu kontributor Phinemo, dalam artikel yang terbit di Phinemo berjudul ‘Tak perlulah ajakan ayo bertualang!’.

Seorang besar pernah berkata, ada perbedaan antara “menjalani” dan “mengalami”. Yang satu sekedar datang, yang satu belajar pada alam. Yang satu sibuk mengambil foto selfie, yang satu memilih untuk meresapi. Yang satu cuma buat gengsi, yang satu demi kontemplasi.

Mereka yang sekadar ‘mengalami’ adalah mereka yang dikontrol oleh internet dan sosial media. “Peduli apa dengan sejarah tempat ini, yang penting cari latar foto keren”. Kemudian membanjiri timeline orang lain dengan foto-foto perjalanannya dan tulisan provokatif, “2016 masih mau di rumah aja bro?”

Ingat kasus-kasus kerusakan taman bunga Amarilis atau robohnya jembatan gantung di Aceh? Sepertinya tak perlua kita bahas lagi 2 kasus itu, kita semua tahu hal tersebut diakibatkan apa.

 

3. Tak ada lagi ‘Tempat Tak Terjamah’

“Jangan share tempat bagus di sosial media nati dirusak anak alay”. Saya tak sepenuhnya setuju dengan kalimat tersebut.

Kepuasan menjadi orang pertama yang menyebarluaskan tempat tersebut, saya paham rasanya. Tapi kita harus tahu tempat mana yang boleh disebarluaskan dan mana yang sebaiknya dibiarkan tetap tak terjamah.

Sebarluaskan jika destinasi itu memang dikomersilkan sebagai tempat wisata dan berpengaruh pada ekonomi masyarakat setempat. Justru para pejalan wajib ikut mempromosikan. Namun jika tempat tersebut adalah suatu yang memang belum terjamah tangan manusia, tak ada yang bergantung pada tempat tersebut (sebagai tempat wisata), pikirkan lagi. Aksimu mengunggah fotonya ke instagram, twitter atau facebook akan berdampak baik atau buruk? Bayangkan, jika semua tempat, bahkan yang tersembunyi dibelantara hutan disebarluaskan pada khalayak luas disertai ajakan provokatif untuk berkunjung, benar-benar tak akan tersisa ‘tempat tak terjamah’ bagi anak cucu kita nanti.

 

4. Kita lupa cara menjadi diri sendiri

Dalam era semua terhubung koneksi internet dan sosial media seperti sekarang ini, menjadi ‘diri sendiri’ cukup berat dilakukan. Tak percaya? Kita yang sebenarnya mungkin tak suka blusukan masuk hutan, atau capai-capai mendaki, mendadak merasa harus melakukan semua itu. Untuk apa? Demi cap ‘tak ketinggalan zaman’. Atau kita yang tak terlalu suka berfoto selfie dan eksis di sosial media harus melakukan semua itu.  Percayalah, diam di rumah akan jauh lebih bijak daripada kita melakukan perjalanan hanya agar nampak ‘kekinian’. Travelinglah karena kamu memang mencintainya, bukan sekadar ikut tren.

 

5. Kita lupa bagaimana cara mengobrol dengan orang lain di perjalanan

Bagaimana tidak, kita terlalu sibuk memposting foto di instagram atau membalasi teman-teman yang berkomentar di foto perjalanan kita di facebook. Kita mungkin akan lupa mengobrol -secara langsung- dengan warga lokal dan mengenal budaya mereka -hal yang sebenarnya hanya bisa kita dapatkan ketika traveling, namun kita sia-siakan karena terlalu asyik berinteraksi di dunia maya.

Dan kita menjadi lupa bagaimana asyiknya menemukan suatu tempat tanpa bantuan sebuah aplikasi. Hal yang justru dulu menjadi sebuah kepuasan tersendiri saat kita berhasil sampai di suatu destinasi dengan usaha kita sendiri.

***

Hal diatas membuat seolah internet dan sosial media terlihat begitu buruk? Buruk saat kita tak bisa mengontrol diri kita karena pada dasarnya teknologi ada untuk memudahkan manusia. Manusia yang mengontrol teknologi, bukan teknologi yang mengontrol manusia. Mari menjadi pejalan yang bijak.

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU