Setelah beristirahat sejenak, kembali kulangkahkan kakiku. Dini hari ini, kami berempat menyusuri sisi dalam Kawah Ijen untuk melihat keindahan fenomena api biru. Suasana begitu gelap, jalur yang curam dan berbatu membuat kami berjalan sangat pelan sembari merapat pada dinding kawah.
Bau belerang yang begitu menyengat menyusup melalui celah-celah masker kami. Masker yang kami kenakan tak cukup untuk menghalau bau belerang. Terasa begitu menusuk hidung dan membuat sesak nafas. Tak bisa kubayangkan betapa luar biasanya penambang belerang yang berada pada lingkungan seperti ini setiap hari.
Pesona Gunung Ijen dengan fenomena api biru di kawahnya menarik wisatawan, baik lokal maupun luar negeri, termasuk kami berempat yang terpengaruh oleh berbagai artikel, foto dan video tentang Kawah Ijen. Begitu semua siap, kami segera memastikan jadwal menuju potensi wisata yang hanya ada 2 di dunia ini, di Kawah Ijen dan di negara Islandia.
Pelajaran tentang hidup bisa datang dari siapa saja dan kapan saja. Hal itulah yang aku yakini setelah beberapa kali melakukan perjalanan ke beberapa tempat.
Sore tadi di campground Paltuding, sembari mempersiapkan untuk pendakian pada dini hari, kami sempat berbincang dengan beberapa penambang belerang tradisional Kawah Ijen. Mereka seperti tak terpengaruh oleh udara yang begitu dingin. Dengan santainya melepas baju dan menyeka keringat mereka. Sekilas kulirik bahu-bahu mereka, nampak mengeras dan terilhat bekas gosong. Tentu saja, setiap hari mereka melintasi medan yang begitu curam sambil membawa beban 70-80 kg di bahu mereka. Dalam sehari, mereka bisa bolak balik hingga 2-3 kali.
Selain asap belerang, curamnya medan menjadi risiko lain pekerjaan mereka. Sebenarnya ada alternatif lain selain harus melewati jalur yang juga sering digunakan para turis ini, yaitu dengan menyeberangi danau menggunakan perahu.
“Ada jalur lain, sekarang tak pernah dipakai lagi karena bahaya. Dulu teman saya ada yang hilang di tengah danau, sampai sekarang mayatnya tak pernah ketemu,” asap rokok mengepul dari mulut Pak Mochtar. Beliau sempat menawari kami rokok pula, namun kami tolak secara halus.
“Nanti diatas hati-hati mas sama cairan belerangnya. Itu panas sekali. Dulu pernah ada penambang yang kurang hati-hati jatuh ke cairan belerang itu. Parah mas, nggak tertolong lagi,” Pak Farid, seorang penambang lain menimpali cerita Pak Mochtar. Menurut mereka, kecelakaan itu terjadi karena mereka lupa untuk mengubur kepala kambing di lokasi penambangan. Mengubur kepala kambing di lokasi kawah memang sudah menjadi tradisi setempat sejak beberapa tahun belakangan. Mereka percaya jika mereka tak melakukannya, maka hal buruk akan terjadi. Seperti beberapa kecelakaan yang mereka ceritakan tadi.
Pagi hingga malam terpapar asap belerang membuat sebagian besar penambang terjangkit penyakit paru-paru. “Kami ini tak takut mati atau penyakit mas, kami cuma takut kami dan keluarga kami kelaparan,” penambang lain tertawa mendengar selorohan Pak Mochtar. Aku dan teman-teman hanya tersenyum miris.
Berdasar cerita mereka, mereka mendapat upah sebesar Rp 800/kg, dengan kata lain dalam sehari rata-rata dari mereka “hanya” memperoleh Rp 56.000 – Rp 64.000. Kami yang mendengar cerita mereka sempat terkesiap. Aku sempat mencoba mengangkat satu rit berisi bongkahan belerang besar, jangankan meletekan rit keatas bahu, sekedar mengangkatnya saja menggunakan 2 tangan aku membutuhkan bantuan seorang teman. Luar biasa berat.
Baca juga : Backpacking Irit Ke Bromo ala Mahasiswa
Pak Farid sempat tertarik dengan headlamp yang kukenakan. Beliau bertanya berapa harganya dan belinya dimana. Setelah kujelaskan harganya, Aku sempat ingin memberikannya dengan sukarela, kupikir mereka jauh lebih membutuhkannya dibanding aku. Ternyata “ego” ku jauh lebih besar dari niat tulusku yang ingin membantu. Niat hanya sekedar niat.
Sempat kuutarakan 1 pertanyaan kepada para penambang ini, apakah mereka tak ingin mencari pekerjaan lain dengan risiko yang lebih ringan atau hasil yang lebih besar?
“Bagi saya, dan mungkin juga teman-teman, kami anggap pekerjaan ini sudah jalan hidup kami, bukan karena kepepet atau tak ada pilihan lain. Buktinya sebagian besar penambang di sini sudah menambang sejak puluhan tahun yang lalu. Kalau mau, bisa saja kami bertani atau berkebun, namun kami merasa ini jalan hidup kami. Masalah penghasilan, Di atas sudah ada yang mengatur mas, tiap orang punya rejeki sendiri-sendiri,” Pak Mochtar mengakhiri ceritanya.
Kami harus berpisah karena mereka harus kembali melanjutkan pekerjaan. Pekerjaan yang berat memang, tapi begitulah hidup. Tak semua orang memiliki kesempatan yang sama mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan melimpah, namun benar kata Pak Mochtar, tiap orang punya rejekinya sendiri-sendiri, sudah ada yang mengatur.
Meski sangat singkat, kami mendapat banyak pelajaran berharga dari para penambang belerang tradisional. Sebuah pelajaran yang tak kami dapatkan di bangku kuliah, pengalaman yang tak ternilai oleh apapun.