Haruskah Membuat Itenerary?

Bagi sebagian orang, itenenary adalah separuh nyawa mereka diperjalanan. Sebagian lagi tak menganggapnya penting. Bagaimana dengan kamu?

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Foto dari Asean Student

Di berbagai forum online backpacker, saat seseorang memposting foto/cerita perjalanannya, hampir bisa dipastikan saya akan menemukan minimal 1 komentar berbunyi,’bisa minta itenerarynya nggak? Kebetulan saya mau kesitu.’

Saat itenerary hanya wacana

Seminggu sebelum ke Banyuwangi beberapa waktu lalu, saya dan kawan seperjalanan saling mengingatkan untuk membuat itenerary.

Saya meramban di berbagai blog tentang tempat-tempat yang harus dikunjungi saat di Banyuwangi dengan jarak yang tak terlalu jauh karena kami hanya punya waktu 1 hari 1 malam disana.

Kami bahkan menyempatkan kopdar dengan seorang teman yang pernah berkunjung kesana demi menyusun itenerary.

Namun hingga hari keberangkatan, karena saking padatnya pekerjaan kantor, tak ada satupun dari kami yang membuat itenerary. Semua hanya wacana.

Dalam kereta bertempat duduk 90 derajat yang membuat punggung kaku, saya menyempatkan membuat itenerary seadanya, setidaknya tempat dan transportasi yang dibutuhkan berdasar cerita-cerita para blogger. Apa daya, jaringan internet di kereta tak stabil.

Jadilah kami mengunjungi tempat-tempat di Banyuwangi berdasar cerita orang, jika tempat A bagus, tempat B indah.

Diluar dugaan, kami menikmatinya. Meski akhirnya hanya berkunjung ke 2 tempat, Kawah Ijen, dan Taman Nasional Baluran di Situbondo, sebelah utara Banyuwangi.

Karena tak berpatokan pada itenerary, saya dan kawan tersebut sering lupa waktu. Lupa jika kami hanya punya waktu 1 hari.

Kami menghabiskan waktu hampir 4 jam di puncak. Padahal menurut rencana, setelah puas menikmati api biru, pukul 06.00 WIB kami akan segera turun untuk bergegas menuju Taman Nasional Baluran di Situbondo.

Di puncak, kami lupa waktu karena keasyikan mengobrol dengan penambang belerang tradisional yang mulai ramai berdatangan saat hari mulai terang. Bahkan kami iseng membantu beberapa penambang yang menjual suvenir khas Kawah Ijen yang terbuat dari belerang.

Dari kawah Ijen menuju kota membutuhkan waktu sekitar setengah jam. Di penginapan kami mandi dan merapikan barang bawaan kami di tas. Rencana kami hanya beristirahat selama 1 jam di penginapan. Kenyataannya, kami ketiduran sekitar 2 jam dan baru berangkat naik motor menuju Taman Nasional Baluran pukul 12.00 WIB.

***

Pada dasarnya, itenerary sangat penting demi efisiensi bujet dan waktu. Namun, saat keasyikan di suatu tempat, kadang itenerary hanya menjadi wacana dan pemanis.

Di kereta perjalanan pulang menuju Semarang dari Surabaya kami bertemu seorang turis wanita asal Amerika. Tampilannya sangat santai. Mengenakan kaos bertuliskan ‘I Love Bali’, topi safari cokelat dan celana pendek. Dia seorang diri.

Dia duduk didepan kami. Dia menyapa kami terlebih dahulu dan bertanya memastikan apakah benar kereta yang dia tumpangi menuju Semarang.

Kereta ini menuju Jakarta, namun melewati Stasiun Tawang, Semarang. Disitulah kamu harus turun. Jika mau, kami bisa menjadi guidemu di Semarang,’ teman saya menawarkan bantuan dengan cepat.

Terima kasih, kalian baik sekali. Tapi saya akan berkeliling sendiri saja,’ turis tersebut mengeluarkan buku panduannya tentang Semarang dan beberapa lembar kertas tentang Semarang yang dia cetak sendiri.

Itenerary dia tulis rapi di sebuah buku kecil bersampul hitam. Ada sekitar  6 halaman itenerary Semarang.

Saya meminta izin membaca itenerarynya. Sangat detail. Wisata kota lama pun dia jabarkan terpisah menjadi beberapa bagian.

Sangat berbeda dibanding kami saat di Banyuwangi. Begitu bangun sekembalinya dari Kawah Ijen kami baru menentukan akan ke Taman Nasional Baluran menggunakan transportasi apa.

Bahkan kami wisata kuliner karena tak sengaja menemukan warung yang menjual rujak soto tak jauh dari pelabuhan Ketapang.

“let’s get lost”

Bepergian tanpa itenerary ternyata cukup menyenangkan. Memang kami melewatkan beberapa tempat menarik di Banyuwangi seperti G-land, Taman Nasional Alas Purwo ataupun Tabanan, namun entah kenapa saya tak menyesal samasekali.

Kami berkeliling Banyuwangi hanya berbekal ‘tanya warga lokal’ dan ‘plang jalan’ . Kata kawan saya,’let’s get lost!’.

***

Meski menyenangkan bepergian tanpa sebuah itenerary, saya tetap selalu berusaha membuat itenerary perjalanan. Entah nanti akan berakhir sebagai wacana, setidaknya membuat itenerary membuat perjalanan lebih tenang.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU