Keringat mulai mengalir perlahan melewati pelipis hingga dagu ketika mulai ku lihat pohon pinus yang berjejer. Nafasku yang tadinya terengah sedikit mulai lega, tempat tujuanku sudah terlihat. Pantai pasir putih dengan ombak khas yang bersahabat, suasana tenang tiba-tiba masuk dalam diriku.
Sepeda yang ku kayuh mulai melindas pasir putih kecoklatan, disambut dengan ombak yang cukup besar dari biasanya. Ku sandarkan sepeda, kemudian duduk pada kursi bambu memanjang. Sebotol air mineral menjadi penghapus dahaga, ku reguk perlahan sembari memandang langit biru berpadu awan mendung.
Sejenak aku coba nikmati anugerah alam yang indah dari sang pencipta ini, begitu segar terasa angin sore itu. Membuatku merenung, entah kenapa setiap perjalananku selalu menyimpan pelajaran.
Jalan raya beraspal yang kukira akan mudah ku lewati ternyata sebaliknya. Saat berangkat, angin berhembus dari arah berlawanan dan sangat memberatkan kayuhanku. Ku mantapkan untuk terus maju, sempat berhenti sebentar kemudian mencoba mengayuh perlahan.
Saat berhenti aku teringat kata seorang teman jika posisi tubuh dan tinggi sadel mempengaruhi ketahanan dan kekuatan saat bersepeda. Aku naikkan sedikit sadel sepedaku, sepadan dengan panjang kakiku dan mengayuh dengan sedikit menunduk.
Memang benar, angin tak terlalu banyak menabrak tubuhku, dan kayuhanku pada pedal sepeda sedikit lebih ringan.
Aku ingat ketika pernah bersepeda bareng beberapa teman dari kampus untuk ikut Car Free Day. Kampusku yang berada di daerah pegunungan dengan trek jalan beraspal namun cukup curam. Aku yang saat itu masih sangat awam tentu saja langsung tak kuat saat pulang dengan medan menanjaknya.
“Kalo naik itu gunakan irama, bukan hanya ngoyo dan cepet-cepetan”, tegur seorang teman.
Ia juga ikut menepi, baru sampai karena memang sedikit lambat dan berada di belakang. “Maksudnya gimana?”, tanyaku masih belum mengerti.
Kemudian ia menjelaskan bahwa ketika bersepeda dengan medan menanjak yang diperlukan adalah irama kayuhan. Meski pelan dan perlahan namun dengan irama yang terjaga membuat kaki tidak cepat capek.
Setelah istirahat cukup, aku melanjutkan kayuhankun sesuai dengan saran temanku. Meski perlahan, irama kayuhan yang konstan membuat energi tak cepat habis.
Angin cukup kencang berhembus dari arah berlawanan membuatk sepeda yang ku kayuh menjadi berat untuk melaju. Ban sepeda yang ternyata agak besar juga mempengaruhi laju sepedaku. Melintas di jalan raya terasa sangat berat ketika dalam perjalanan berangkat menuju pantai.
Aku nyaris memutuskan untuk berputar arah lalu pulang karena fisik yang mulai kelelahan. Namun urung ku lakukan karena aku sudah lebih dari setengah jalan, rugi jika harus pulang, pikirku.
Mengutip kata-kata Che Guevara, “Sebab mundur adalah sebuah pengkhianatan”.
Sama halnya mendaki gunung, jalan beraspal tak terlalu bersahabat denganku. Jalan sedikit berbatu ketika mulai masuk perkampungan arah pantai terasa lebih ringan dilalui.
Sampai di tujuan dengan nafas sedikit terengah dan keringat yang mengalir banyak. Namun perjuangan tak sia-sia, pantai saat senja begitu mempesona, deretan pohon pinus menari diterpa angin laut. Meski sedikit mendung dan matahari malu menampakkan dirinya, semburat sinar dibalik awan sudah cukup membuatku bersyukur dengan indahnya alam ciptaan-Nya.
Ku lihat keceriaan seorang anak bermain, terlihat sangat antusias dengan mainan pasir dan air laut. Ada juga yang bermain bakiak, kebahagian jelas terlihat dari wajahnya. Beberapa orang lalu lalang, mencari tempat yang dirasa nyaman untuk duduk dan menikmati alam pantai disini.
Ketika akan beranjak pulang aku sedikit ragu, karena takut tidak kuat dengan fisik yang lelah. Tapi mau bagaimana lagi, sepeda tetap ku kayuh perlahan. Melewati jalan aspal keraguanku hilang, angin kini membantuku dan membuat kayuhanku menjadi lebih ringan.
Alam bukan untuk ditakhlukkan. Bersahabatlah dengan alam, dan alam akan membantu kita. Akupun tersenyum, mungkin inilah buah dari kesabaran dan niat yang kuat.
Dalam perjalanan pulang aku melewati ladang garam luas memanjang di sebelah kanan dan kiri jalan. Karena sedang musim hujan, ladang garam banyak yang dibiarkan dengan air menggenang. Memantulkan semburat jingga matahari senja.
Rembang dikenal sebagai kota garam, banyak masyarakat di daerah pesisir bekerja sebagai petani garam. Harga garam yang sangat murah, menurutku tak sebanding dengan perjuangan tak kenal lelah para petaninya. Mulai dari menyiapkan tempat sebelum diisi dengan air laut, hingga harus berpanasan mengeruk kristal-kristal garam yang terbentuk.
Melewati daerah ladang garam seketika membuatku bersyukur tak terkira. Berkat perjuangan para petani garam, paling tidak membuat masakan yang setiap hari ku makan menjadi tidak hambar.
Bersepeda dengan kondisi fisik yang sedikit lemah membuatku belajar, aku mengumpamakan bersepeda kali ini hampir sama dengan pelajaran hidup. Awal yang cukup berat dengan terpaan angin dari arah berlawanan, bahkan sempat terpikir untuk memutar balik dan menyerah.
Namun saat pikiran-pikiran untuk menyerah ku lawan dan mencoba menikmatinya setiiap kesulitan, yang muncul justru kesenangan untuk terus mengayuh sepeda.
Sedikit tanjakan hingga jalan yang sedikit berbatu adalah umpama hidup yang penuh dengan tantangan. Hidup akan selalu ada rintangan, tapi bukan untuk dihindari tapi harus dilewati dan dinikmati. Akan ada perasaan puas setelah melewatinya, meski lelah dan sakit dirasakan tubuh.
Bahagia itu sederhana, sesederhana mengayuh pedal sepeda dan menikmati apa yang ada di sekitarnya.