Backpacking bukan tentang perjalanan yang terencana. Pengalaman tak terduga justru sering datang dari rencana-rencana perjalanan tak terjadwal. Tersesat saat menyusuri salah satu perkampungan di Bali justru membuatku mendapatkan pengetahuan dan pengalaman luar biasa di Pulau Dewata ini.
Menyusuri kawasan pedesaan Ubud sungguh menenangkan hati. Ubud adalah desa dalam arti sesungguhnya. Suara serangga bersahutan, udara segar yang merasuk ke hidung, serta alunan gamelan Bali yang terdengar dari sanggar-sanggar seni yang terdapat di pelosok desa. Aku benar-benar menikmati sore itu.
Kerumunan dan sorak sorai orang di salah satu sudut desa nampak kontras dengan ketenangan alam di sekitarnya. Aku coba merangsek kedepan, aku berjongkok menyaksikan 2 ayam jantan yang saling mematuk. Kedua petarung ini, kusebut demikian karena nampaknya mereka sudah sangat berpengalaman bertarung, sangat lihai menyerang dan bertahan. Berbeda dengan perkelahian ayam yang terkadang kulihat di dekat rumahku.
Saat salah seorang ayam bersiap mematuk, salah satu ayam sepertinya sudah tahu kemana harus menghindar dan mencari celah untuk menyerang balik. Lebih seru dari pertarungan 2 petinju kelas berat.
Kulihat sekeliling, ada sekitar puluhan orang menonton pertarungan 2 ayam jantan yang berukuran besar itu. Tak hanya pria dewasa, dari anak kecil, remaja, ibu-ibu, turis lokal, asing, bahkan ada 2 nenek-nenek terlihat mengamati pertarungan ke-2 ayam. Kedua nenek yang kutaksir berumur 80 tahunan ini terlihat tak mau kalah berteriak menyemangati ayam jagoannya dengan pria-pria dewasa ditempat itu.
Tradisi pertarungan ayam di sini berbeda dengan adu ayam lain yang juga marak di berbagai pelosok Indonesia. Mereka tak hanya saling mematuk dan mencakar menggunakan kuku mereka. Kaki-kaki ayam yang bertarung di sini dipasang sebuah pisau baja kecil, untuk menambah daya serang.
Darah mengucur dari bagian tubuh ayam yang terkena pisau baja. Hal mengherankan di sini adalah, normalnya kedua ayam tak dapat berdiri lagi mendapat luka sedemikian banyaknya, itu jika yang mendapat luka adalah ayam kampung biasa. Kedua ayam ini tentu telah mendapat berbagai ramuan dan pelatihan sehingga sampai saat ini masih dapat berdiri tegak. Jika mereka berdua adalah manusia yang bertarung, kupikir dengan luka demikian mereka pasti telah tewas.
Ditengah pertarungan ada seseorang berteriak “polisi” sambil berlari menjauh. Pistol diacungkan ke udara. Kerumunan bubar seketika. Kedua pemilik ayam segera membawa lari ayam mereka dan kabur menjauh. Kedua nenek tadi menghilang entah kemana. Cukup cekatan untuk seumuran mereka. Kepala desa yang tadi asyik menonton berlari kearah sungai. Tak lama kudengar suara seseorang menceburkan diri ke sungai.
Nampaknya ada seseorang yang lupa untuk membayar oknum sehingga polisi berdatangan. Si bandar tertangkap polisi. Tak terlihat raut takut atau cemas. Kulihat dia sempat bersenda gurau dengan beberapa polisi. Hal yang wajar di sini. Mereka sudah akrab. Aku tak akan heran jika beberapa hari ini setelah ini dia membuka pertarungan ayam lagi di tempat ini.
Baca juga : Keunikan sebuah desa adat di Pulau Dewata
Aku sendiri bertingkah layaknya turis biasa yang tak berdosa. Mengeluarkan kamera digital sembari bertingkah layaknya orang bingung. Sama seperti beberapa turis asing yang tadi merekam pertarungan ayam dengan kamera mereka. Mereka hanya mengangkat tangan dan menggelengkan kepala ke polisi. Jurus andalan para turis asing tersebut cukup manjur, polisi segera berlalu meninggalkan mereka.
Tak berselang lama, tempat tersebut menjadi sepi. Hanya tersisa bulu-bulu ayam yang rontok dan darah hasil pertarungan mereka.
Sabung ayam atau di Bali dikenal dengan nama tajen, sudah menyatu dalam adat masyarakat bali. Pemuka adat menceritakan padaku sepulang menonton pertarungan tadi. Ada suatu waktu masyarakat mengadakan pertarungan akbar, yang bertempat di candi.
Pertarungan tersebut ditonton ribuan orang. Hanya ayam terbaik yang dapat bertarung di situ. Pada pertarungan terakhir yang diselenggarakan, setidaknya ada sekitar 3.000 orang dari berbagai lapisan masyarakat di Bali yang menonton pertarungan.
Sekarang ini tajen mengalami pergeseran makna, dari awalnya sebagai upacara ritual agar terhindar dari marabahaya, sekarang lebih mengarah pada praktek perjudian.
Sore itu merupakan pengalaman tak terlupakan. Menyatu bersama warga lokal memang menyenangkan bagiku, meski hal tersebut melawan hati nurani sendiri. Aku berdiri menyaksikan pemandangan mengerikan, 2 ekor ayam harus berdiri di tengah arena dan tidak memiliki pilihan lain selain harus bertarung habis-habisan. Diiringi sorak sorai menyemangati untuk saling membunuh.
Memaksa 2 ekor hewan, berdiri ditengah arena pertarungan untuk saling membunuh tak sesuai dengan nuraniku. Tentu aku tak bisa menyalahkan adat suatu masyarakat.
“Saat kamu telah sering mendatangi berbagai tempat dan masyarakat baru, kamu akan terbiasa berkompromi dengan nuranimu”