Kata orang, pendakian pertama selalu berkesan. Hal tersebut berlaku pula untuk saya. Ada suatu kisah menarik saat pendakian pertama ke Gunung Merbabu pada akhir bulan September 2013 lalu.
Sebagaimana pemula pada umumnya, saya dan teman-teman kosku mencari informasi barang-barang apa saja yang harus dibawa saat naik gunung. Menurut situs tersebut, dari sekian banyak barang yang wajib kami bawa, salah satunya adalah trash bag, atau kantong sampah. Di situs ditulis bahwa “pendaki gunung yang baik jangan pernah meninggalkan apapun kecuali jejak.” Kami sebagai pemula sama sekali tidak mengetahui tentang kebiasaan tersebut. Pada akhirnya kami memutuskan untuk membawanya.
Ditengah pendakian kami selalu memungut sampah yang kami temui di jalan, begitu pula dengan sampah-sampah yang kami buang. Kami sendiri cukup heran, karena menurut bayangan kami, gunung adalah tempat yang bersih dan segar karena pendaki gunung pasti pecinta alam yang suka menjaga alam lingkungan.
Tak terasa belum setengah perjalanan kantong sampah kami sudah hampir terisi penuh.
Salah seorang teman menyarankan untuk meninggalkan saja kantong sampah tersebut, karena selain berat dan besar, baunya memang cukup menyengat hidung. Perdebatan sempat terjadi karena jika kantong sampah ini kutinggalkan pasti sampah di dalamnya akan tercecer.
Akhirnya kantong sampah tetap kami bawa hingga puncak dengan syarat saya yang harus terus membawanya.
Ditengah perjalanan kami bertemu dengan sekelompok pendaki lain. Mereka mengaku sebagai mahasiswa dari salah satu universitas di Yogyakarta.
Kami beristirahat di dekat mereka.
Mungkin karena bau yang menyengat, salah seorang dari mereka bertanya pada saya, untuk apa membawa-bawa kantong sampah ke puncak gunung, apakah tidak merepotkan? Kuamati dalam rombongan mereka memang tidak ada yang mebawa kantong sampah.
Saya sempat terdiam, karena mereka terlihat seperti pendaki gunung yang jauh lebih berpengalaman dibanding saya yang seorang pemula ini. Aku berusaha menjelaskan bahwa sebaiknya kita tak meninggalkan apapun saat mendaki, agar sampah yang kami buang tidak mengotori gunung.
Pendaki yang bertanya pada saya hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil bisik-bisik ke teman disebelahnya. Sebenarnya, saya masih bisa mendengar cukup jelas apa yang dia bisikan,”kok repot”.
Saya hanya tersenyum kecut.
Setelah cukup mengisi tenaga, kami kembali melanjutkan perjalanan. Membawa perbekalan dan satu kantong sampah cukup melelahkan ternyata. Ditambah semakin jauh perjalanan kami, semakin banyak sampah yang kami temui.
Saat beristirahat di pos IV atau Watu Tulis kami kembali berpapasan dengan pendaki lain. Kembali kantong sampah besarku menarik perhatian. Namun kali ini respon yang kami dapat berbeda.
“Kalian hebat” Itu yang keluar dari mulut mereka. “Kami jarang bertemu pemula yang membawa-bawa kantong sampah seperti itu” Menurut mereka pendaki gunung sekarang terlalu sibuk berfoto, hingga mereka lupa bahwa alam sekitar mereka makin rusak. Nampak salah satu pendaki menenteng kantong sampah besar. Kami berkenalan, namun saya lupa nama keduanya.
Kedua pendaki tersebut sudah cukup berumur. Mereka telah mendaki gunung sejak umur belasan. Menurut mereka pendakian gunung kini jauh berbeda. Mendaki gunung sudah menjadi trend atau gaya hidup.
Sayangnya, tren tersebut kurang disertai kesadaran menjaga alam oleh para anak muda yang baru mendaki gunung. Berfoto di puncak menjadi orientasi utama. Bahkan masih banyak pendaki yang suka membuang sampah sembarangan.
“Kami bukan manusia suci yang tidak pernah melakukan hal-hal buruk di gunung, kami pun pernah khilaf, tapi selalu ada suatu titik perubahan dalam hidup kita. Membawa kantong sampah memang sangat merepotkan, namun jika bukan kita para pendaki yang menjaga kebersihan di gunung, siapa lagi?” Bapak tersebut menjelaskan sembari menyerahkan satu kantong sampahnya yang masih kosong pada kami karena melihat kantong sampah kami telah penuh.
“Ingat, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak, gunung ini harus kita jaga bersama” Kedua pendaki tadi berpesan sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Beberapa patah kata dari kedua pendaki tadi menari-nari di pikiran kami. Kami melanjutkan perjalanan dengan lebih banyak diam. Mencoba bercermin, pendaki seperti apakah kami.