Jadilah Traveler Cerdas, Stop Ikut Ambil Bagian Dalam Eksploitasi Gajah!

Belakangan ini cukup ramai kasus kematian gajah di tempat wisata. Akankah kita terus diam? Stop eksploitasi gajah di industri wisata!

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

Foto berasal dari tangkapan layar petisi perlindungan gajah  change.org

Nasib gajah kini berada di ujung tanduk. Hidup di hutan, habitat asalnya pun tak bisa tenang. Mereka terus bertahan hidup dalam intaian para pemburu-pemburu jahanam. Nasib yang sama pun mereka rasakan ketika mereka harus hidup di kota, di antara egoisme manusia. Gajah menjadi sasaran pemuas hiburan. Mereka dipaksa untuk melakukan atraksi-atraksi, ditunggangi para turis, atau sekadar menjadi objek untuk foto selfie.

Mungkin, kalau gajah bisa memilih, dia tak ingin mengenakan pelana di atas punggungnya. Gajah juga tak ingin terus-terusan hidup dalam ikatan rantai-rantai besi. Bila gajah bisa berbicara, dia ingin hidup tenang di alam liar tanpa campur tangan manusia.

Sayangnya, kekuatan yang dimiliki gajah ini tak cukup tangguh untuk melawan hasrat dan egoisme manusia. Dia hanya bisa pasrah mengikuti perintah, menjadi objek hiburan para turis untuk menghasilkan recehan uang.

Jumlah kematian gajah karena keperluan wisata semakin meningkat. Salah satu penyebab kematian gajah adalah pemaksaan beban kerja yang berlebihan. Gajah dipaksa untuk terus melayani keinginan turis sedangkan pada saat yang bersamaan mereka kurang memperoleh perhatian dari pemilik wisata.

April lalu, seekor gajah bernama Samboo di Angkor Wat meninggal setelah kelelahan bekerja di bawah terik matahari. Samboo diduga terkena serangan jantung karena stres dengan beban kerja berlebih. Kematian gajah Angkor Wat menyita perhatian para pecinta binatang. Mereka membuat petisi untuk tak mengksploitasi gajah di tempat wisata.

Dilansir dari tuotrenews.vn, tahun 2015 silam, di Vietnam, seekor gajah juga ditemukan mati karena kelelahan. Na Lieng, nama gajah tersebut, terjatuh dan mati setelah bekerja melayani turis satu bulan penuh. Buon Don Tourism, pemilik gajah Na Lieng, sebelumnya telah mengetahui bahwa Na Lieng sedang dalam keadaan tak enak badan. Tapi, tetap saja dipaksa untuk bekerja.

Foto berasal dari ninety.wordspress.com

Di Indonesia, eksploitasi gajah juga terjadi di beberapa tempat wisata. Jika Anda berkunjung di Kebun Binatang Margasatwa Semarang, Anda akan menemukan seekor gajah yang sudah cukup tua tapi tetap saja diminta untuk melayani permintaan pengunjung bonbin. Dengan pelana di punggung dan kaki di krangkeng rantai besi, gajah berjalan memutar. Ironisnya, pengunjung terlihat bahagia sambil sesekali menebarkan senyum kebahagian dari atas punggung gajah. Satu sisi lain, si gajah renta dengan luka-luka lecet akibat ikatan rantai yang terlalu kencang memperlihatkan wajah duka.

Jangan Naik Gajah Lagi!

dukungan untuk stop menunggangi gajah dari para netizen

Sudah saatnya kita menjadi traveler yang bijak. Gajah bukan hewan yang bisa kita jadikan mainan. Kita tak bisa memanfaatkan gajah untuk kesenangan sesaat. Karena gajah diciptakan bukan untuk memberikan kesenangan kepada manusia.

Manusia yang menciptakan ide-ide pemanfaatan gajah demi menghasilkan rupiah. Gajah memberikan banyak keuntungan kepada manusia, sebagai penghasil rupiah dan hewan penghibur. Bagaimana dengan gajah? Apa yang mereka dapatkan dari ini semua? Gajah hidup dalam kurungan, dipaksa bekerja berjam-jam melayani turis, dan mereka hidup dalam kandang tak cukup banyak makanan dan minuman. Lebih parah lagi, gajah harus mengenakan pelana selama seharian untuk membawa turis-turis berputar.

Foto diambil dari earasia.org

Mereka seperti hidup dalam tawanan manusia. Tak bisa memilih untuk hidup bebas di alamnya. Gajah sudah cukup lelah untuk melakukan segala perintah pemilik wahana wisata gajah. Masihkah kita menjadi beban bagi mereka dengan tetap menaikinya?

Baca Juga:

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU