Di balik Tembok Keraton Yogyakarta

Sebuah cerita dari balik tembok Keraton Yogyakarta

SHARE :

Ditulis Oleh: Bayu Topan

CC flickr 2.0 Eko Susanto

Tahun Baru di Jogja ibarat hari besar keagamaan. Orang-orang dari berbagai daerah berdatangan, kendaraan pribadi dan bus-bus memenuhi jalanan Jogja yang sempit, mengular panjang, dan tak enak dipandang.

Sore itu, di hari setelah orang-orang merayakan malam tahun baru, saya keluar rumah dengan malas sebab jalanan masih ramai. Tetapi saya harus melakukannya. Besok akan ada tamu asing yang akan saya pandu dengan berjalan menelusuri gang-gang di sekitaran Alun-alun Kidul Keraton. Oleh karena itu saya akan melakukan survei tempat-tempat menarik yang akan saya kunjungi nanti, dan juga jalan yang harus saya lalui di sana.

Cuaca sedang bagus. Tidak mendung. Langit biru dengan semburat jingga di barat. Suasana liburan sangat terasa. Saya pergi dengan mengendarai motor. Dan benar saja jalan-jalan masih sangat padat. Kemudian saya putuskan untuk menghindari jalan raya utama, memilih menerobos gang-gang di dalam kampung pada akhirnya.

Saya belum sepenuhnya hapal jalanan di Jogja meskipun sudah setahun hidup di sini, apalagi jalan pintas menembus gang-gang di perkampungannya. Tujuan saya waktu itu adalah menemukan Alun-alun Kidul Keraton. Dan ketika saya berjalan mengikuti insting saya, saya takjub dengan apa yang saya temukan. Saya mendapati tembok putih dengan pintu melengkung khas keraton di tengah perkampungan padat. Pintu itu terbuka dan dari jejak ban motor yang ada menandakan bahwa jalan ini adalah jalan umum. Saya pun masuk tanpa turun dari motor.

Tembok putih tadi ternyata mengitari sebuah tanah lapang yang di tengahnya berdiri pendopo yang terbuat dari kayu. Pendopo ini sudah tampak lama berdiri di sana dan sepertinya sudah tidak difungsikan lagi. Hal ini terlihat dari kayu-kayunya yang sudah sangat tua dan sangat tidak terawat. Terdapat pagar yang mengelilingi pendopo ini. Namun barang-barang seperti kasur bekas dan jenis sampah rumah tangga menumpuk di sekitar pagar.

Pada kedua sudut tembok berdiri papan-papan hitam, masing-masing berjumlah tiga buah, dan di tiap papannya menggantung sebuah benda tepat ditengahnya. Lalu menghadap ke selatan, dua rumah mungil dengan model bangunan sama persis mengapit sebuah gapura putih dengan pintu gerbang melengkung tinggi khas keraton, yang kemudian saya ketahui bahwa pintu itu menuju ke keraton sebagai pintu belakangnya. Saya benar-benar terkejut mengetahui hal itu sebab pintu itu selalu terbuka untuk umum dan ketika saya menjajal masuk saya sudah berada di area belakang keraton.

Di depan salah satu rumah tadi ada seorang pria tua duduk santai di kursi berandanya. Kulit kelamnya membungkus tubuhnya yang kurus, ia memakai pengikat kepala dari batik, menyembunyikan uban-ubannya dan rambutnya yang jarang.

Saya menghampirinya dan ia mempersilahkan saya duduk di sebelahnya. Kami berkenalan. Namanya Pak Mas Wedono Dutomardowo (semoga saya tidak salah). Saya merasa aneh ketika mengucapkannya. Beliau adalah salah satu abdi dalem keraton di bagian perlengkapan. Sudah hampir 50 tahun ia mengabdi kepada Sultan. Nama itu diberikan oleh Sultan kepadanya, kepada semua abdi dalem dan prajurit. Nama aslinya Slamet Sumantri. Ia tidak lagi menggunakan nama aslinya. Kata Wedono di sana menunjukkan gelar yang sudah dicapai oleh abdi dalem. Dan gelar ini menunjukkan berapa lama seorang abdi dalem mengabdi.

“Dulu untuk menjadi abdi dalem harus magang lama dulu,” kata bapak dari tujuh anak ini. “Magangnya bisa sampai sepuluh tahun. Baru kemudian bisa menjadi abdi dalem. Tapi sekarang hanya tiga sampai empat tahun saja.”

Istrinya, yang kini sudah meninggal, dulu seorang Keparak, sebutan bagi abdi dalem wanita. Bila abdi dalem bekerja untuk melayani raja, keparak melayani istri dan putra-putri raja.

Saya melihat ada seorang pria muda mondar-mandir di rumahnya dengan bertelanjang dada, memperlihatkan perutnya yang tambun, dan mengenakan kalung emas di lehernya. Kemudian saya juga melihat seorang perempuan dan seorang bocah yang kira-kira berusia dua tahun di dalam rumahnya yang sederhana.

“Ia anak saya yang paling bungsu,” Pak Wedono memberitahu saya, seakan bisa membaca pikiran saya. “Itu istri dan anaknya.”

Keraton tidak mengupah para abdi dalem, keparak, ataupun prajurit. Keraton hanya memberikan uang sebagai bentuk kesetiaan mereka setiap bulan. Jumlah yang diberikan sama rata kepada seluruh abdi dalem, tanpa membedakan tingkat atau gelar yang dimiliki mereka. Itu yang diceritakan oleh pak Wedono.

Ada sepuluh tingkat gelar yang dapat dicapai sebagai abdi dalem: Jajar, Bekel, Begenom, Lurah, Wedono, Riyo, Riyo Bupati, Kanjeng, Kanjeng Bupati, dan Kanjeng Pangeran, yang merupakan gelar tertinggi.

“Untuk naik gelar ke satu tingkat saja dibutuhkan waktu lima hingga enam tahun,” ujar Pak Wedono sambil menatap jauh ke depan, kepada papan-papan hitam di sudut tembok lapangan. “Usia saya sekarang 67 tahun. Jadi dihitung saja pada usia berapa saya akan mencapai gelar yang paling tinggi itu.”

Pak Wedono terkekeh. Saya juga. Saya melihat garis-garis kerutan pada wajahnya, raut mukanya menunujukkan kesetiaannya pada keraton yang tulus ikhlas, membuatnya seperti tak mengharapakan apapun lagi pada dunia, tempatnya berpijak. Segalanya terasa terpenuhi dan disyukuri.

Kemudian saya pun mengetahui bahwa pendopo yang berdiri di tengah-tengah lapangan tadi merupakan Bangsal Kemandingan yang ternyata dibangun sebelum keraton. Wajar bila kayu-kayu yang menyanggahnya terlihat sangat tua dan kuno. Bangsal Kemandingan ini dulunya difungsikan untuk menyimpan benda-benda kuno kerajaan. Tapi kini tak tampak satupun benda-benda kuno tersebut. Hanya ada sebuah patung seorang abdi dalem sedang berlutut di tengah-tengahnya, berlutut menghadap ke utara, di mana keraton berada.

Selain itu lapangan ini juga digunakan para prajurit dan abdi dalem berlatih jemparingan, olahraga panahan orang-orang keraton yang ketika memanah dilakukan dengan duduk bersilah. Papan-papan hitam yang diletakkan pada kedua sudut tembok lapangan tadi merupakan papan sasarannya. Selalu digelar perlombaan panahan jemparingan saat merayakan hari kelahiran sang Raja setiap tahunnya.

Langit masih saja berderang meskipun sudah petang, biru, berhiasan sapuhan awan, dan sinar keemasan matahari. Pada akhir obrolan saya bertanya apakah beliau senang melakukan ini, melakukan pengabdian pada keraton.

“Saya melakukan ini sebagai ibadah,” begitu jawabnya dengan singkat, dengan penuh kedamaian, sedamai petang yang terang waktu itu.

Saya tersenyum dan berterimakasih pada beliau atas waktu dan obrolan yang sangat berharga bagi saya di permulaan tahun yang baru ini.

Kemudian saya teringat tujuan saya semula dan saya tak perlu khawatir sebab saya sudah menemukan jalan kemana saya akan membawa tamu saya besok. Begitupula jalan mana yang akan saya tempuh sepanjang tahun kedepan. Saya tidak perlu mengkhawatirkannya.

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU