Tak semua orang menyukai pelajaran sejarah. Fans mata pelajaran ini tak sebanyak mata pelajaran-pelajaran lain seperti biologi, olahraga, atau seni dan budaya.
Aku bukan fans berat sejarah, tapi juga tak begitu benci seperti ketidaksukaanku pada matematika.
Seorang guru sejarah saat aku SMP pernah bercerita tentang kota yang hilang. Sebuah kota bernama Pompeii. Kala itu, waktu berhenti di Pompeii, saat sebuah gunung berapi Vesusius Itali, meletus. Kota yang memiliki peradaban maju ini tertimbun di kedalaman abu dan bebatuan. Saat masa kejayaannya, Pompeii merupakan tempat hiburan masyarakat Roma kelas atas.
Selama 1.700 tahun Pompeii terlupakan dari sejarah manusia. Sekarang ini Pompeii menjadi tempat berkumpulnya para arkeologis dan turis dari berbagai belahan dunia.
Ada pula kisah Kota Sodom dan Gomora di berbagai kitab-kitab di dunia. Sodom dan Gomora dikisahkan berisi penduduk dengan kelakuan seperti binatang. Perzinaan sesama jenis menjadi budaya. Kota ini disebut-sebut lenyap karena dilanda hujan batu api yang begitu dahsyat. Dalam sebuah teori dijelaskan, batu-batu yang begitu besar dan panas itu adalah pecahan-pecahan meteor.
“Entah kenapa, sebuah kisah kota yang hilang hampir semua –jika tak bisa dikatakan semua- diiringi dengan kisah peradaban maju namun tak diimbangi dengan perilaku beradab”
Di Indonesia, Dataran Tinggi Dieng terkenal dengan panoramanya yang indah. Kecantikan telaga warna, kehangatan sunrise, bocah rambut gimbal serta kelezatan carica selalu muncul dipikiran saat mendengar nama Dieng disebut.
Dieng, di balik semua keindahannya, menyimpan sebuah kisah yang tak banyak orang tahu, kisah sebuah dusun yang hilang. Dusun tersebut bernama Dusun Legetang, 2 km ke utara dari wilayah pariwisata Dieng.
Ada beberapa hal yang mengiringi hilangnya Legetang ini.
Kala itu, pada 1950-an, Legetang dikenal sebagai wilayah yang sangat subur. Hasil pertaniannya begitu melimpah. Buah dan sayurannya merupakan kualitas terbaik. Petani-petaninya hidup makmur.
Sangat disayangkan, perilaku mereka tak semaju peradabannya. Perzinaan merupakan hal yang umum. Perjudian menjadi adat.
Seperti halnya Pompeii yang menjadi pusat hiburan bagi warga Roma, warga Legetang sering menggerlar hiburan tari-tarian yang dibawakan wanita-wanita. Tak jarang hiburan tersebut berakhir menjadi sebuah pesta seks.
Perisitiwa ini terjadi pada malam hari sesaat setelah hujan reda. Terdengar suara seperti sebuah ledakan besar. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun yang terletak di dekat perkampungan sudah terbelah dan belahannya itu menimbun Legetang.
Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya terkubur dalam longsoran tanah.
Waktu itu semua orang tercengang. Suasana mencekam melihat seluruh kawasan Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan.
Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari lereng gunung seakan diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah asli di sekitarnya. Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit dievakuasi
Antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman Legetang sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter. Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman.
Selain itu antara Legetang dan gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada.
Seperti layaknya teori-teori konspirasi lain di dunia, kisah longsoran tanah terbang ini terus diceritakan turun temurun.
Jika melancong ke Dieng, berkunjung ke tugu peringatan Legetang bukan ide buruk. Tugu beton itu kini sudah lapuk dimakan usia. Tugu yang masih berdiri tegak di tengah ladang di desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara.
Sebuah tugu setinggi 10 meter menjadi penanda tragedi terkuburnya Legetang bersama seluruh penghuninya akibat longsornya Gunung Pengamun-amun pada 1958.
Kini longsoran tanah yang dulunya menguruk Legetang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian kentang dan kubis. Tanah tersebut dikenal sangat subur.
Sebagian masyarakat yang kini tinggal di bekas tanah Legetang keberatan jika diminta menceritakan kisah hilangnya Legetang. Mereka takut hal buruk akan menimpa mereka.
Sejarah memang bukan pelajaran favoritku dulu. Aku bukan seorang suci yang berkata,” ayo ambil hikmah dari kisah-kisah ini.”
Sejujurnya, aku tertarik dengan kisah-kisah masa lalu karena hal tersebut sangat menarik dari sudut pandangku. Aku cukup bisa menikmatinya. Memandang peristiwa masa lalu dengan perspektif orang modern.
activate javascript“Membayangkan bagaimana kisah hidup kita dimasa kini akan diceritakan pada generasi mendatang”