Cara Introvert Menikmati Legian Bali yang Identik dengan Hingar Bingar

Legian Bali identik dengan hingar bingar. Tak bisakah seorang yang introvert menikmati tempat tersebut?

SHARE :

Ditulis Oleh: Annisa Andrie

Foto dari villagetaways

Malam belum akan tidur ketika jarum jam di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul 21.00 WITA. Ah, bodohnya saya jika masih saja menunggu datangnya sepi di tempat ini. Bukankah saat lampu-lampu rumah satu per satu mulai dipadamkan, Legian sebagai jantung hiburan di Bali malah baru bangun untuk memulai hari?

Saya sengaja melangkahkan kaki meninggalkan penginapan yang ada di Jalan Beneyasa untuk melihat-lihat suasana malam di kawasan yang terkenal di kalangan bule-bule ini. Berjalan kaki melewati gang-gang kecil yang di sepanjang jalannya penuh dengan toko dan tempat hiburan memberikan pengalaman tersendiri bagi saya yang tak begitu menyukai keramaian.

Mungkin sulit dibayangkan bagi seorang introvert bisa menikmati hingar bingar Legian. Teman saya yang asli Bali bahkan mengatakan, seorang introvert akan mati-matian menghindari Legian. Carl Gustav Jung, perintis psikologi analitik, telah menjelaskan pada dunia bahwa seorang introvert selalu melihat dunia dalam hal ‘bagaimana hal itu mempengaruhi mereka‘.  Introvert lebih nyaman sendiri, tenggelam dalam dunia batin serta cenderung mawas diri.

Mendengar perkataan teman tersebut, seketika itu juga saya menyesal karena sebelum mendarat di pulau ini telah memesan kamar hotel di Legian via online tanpa mempelajari lingkungan sekitar.

Benar saja, berada di tempat ini, pada awalnya seperti terlempar ke galaksi asing.  Namun siapa sangka, justru di sinilah seorang introvert yang biasanya selalu diidentikkan pendiam dan penyendiri bisa mulai berdamai dengan Legian yang tak begitu ramai di pagi hari.

 

1. Belajar Melukis

Malam itu di sepanjang jalan, sepasang kornea saya menangkap seliweran bule-bule perempuan berpakaian seksi, serta bule-bule laki-laki yang menenteng bir. Benar kata orang-orang, tempat ini seperti bukan di Indonesia. Kaki saya berhenti di depan sebuah outlet yang memajang beberapa lukisan di atas sebuah kanvas. Perhatian saya tertuju kepada seorang wanita bule di dalam outlet yang tengah tekun dengan kanvas dan kuasnya. Dia tak sendiri. Di sebelahnya duduk seorang lelaki umur 30-an yang memakai udheng di kepala. Setelah beberapa saat saya memerhatikan mereka, belakangan baru tahu bahwa wanita bule itu sedang belajar melukis.

Tertarik, saya pun kembali ke outlet itu keesokan paginya untuk belajar melukis juga. Jangan pikirkan siksaan yang akan dialami oleh seorang introvert ketika harus berbasa-basi menyampaikan keinginan untuk belajar melukis. Tinggal berdiri lama di depan outlet, sang instruktur lukis akan datang dan berkata, “Belajar lukis, Mbak. Satu jam ada yang lima puluh ribu saja.” Kita tinggal mengangguk dan mengikutinya.

Setiap sudut Legian memang identik dengan kafe, bar, dan pertokoan yang menjual souvenir khas Bali. Namun jika jeli, kita bisa menemukan satu bahkan beberapa galeri lukis yang menyediakan jasa bagi traveler untuk belajar melukis. Tak hanya lukisan di atas kanvas, kita bisa belajar melukis di atas media lain seperti di keramik atau gerabah, cangkang telur, bahkan melukis tato.

 

2. Menulis di Coffe Shop

Foto oleh Annisa Andrie

Ada benarnya tudingan yang mengatakan bahwa hidup seorang introvert kadang berkutat dengan tulisan. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang tak bisa dipisahkan dengan benda bernama laptop untuk dirinya bisa menulis di mana saja. Di Legian, mereka pun bisa melakukannya.

Siapa bilang kafe dan bar yang ada di Legian selalu hanya menyajikan bir dan hiburan malam ala kehidupan barat sana? Di sini ada beberapa kafe yang juga menyediakan menu lebih ‘ringan’, seperti kopi atau fruit punch misalnya.

Ketika berkeliling Legian pagi hari, saya menemukan beberapa coffe shop dengan bermacam konsep. Ada yang bergaya mini bar di pinggir jalan utama Legian, ada pula yang berkonsep garden cafe. Saya memilih kafe dengan konsep terakhir karena suasananya yang tenang dengan alunan musik yang menenangkan. Sangat nyaman untuk menuangkan ide ke dalam tulisan. Sesekali juga bisa melihat suasana jalan utama Legian yang belum terlalu ramai. Tapi jika ingin menikmati suasana ini, kita hanya bisa melakukannya di pagi hari. Karena malam hari biasanya kafe akan penuh dan bising oleh jalanan Legian.

 

3. Membaca Sembari Menunggu Sunset di Pantai Legian

Foto oleh DNR

Jiwa seorang introvert yang menyukai kesendirian memiliki cara tersendiri untuk mengisi ulang energi. Buku biasanya menjadi salah satu sahabat baiknya, terlebih ketika ia melakukan perjalanan. Pantai Legian bisa menjadi salah satu pilihan.

Waktu untuk menikmati Legian di pantai ini adalah pengecualian. Artinya, tak harus pagi hari untuk mendapat suasana yang tenang dan sunyi.

Seperti sore itu, mentari masih jauh dari garis air ketika saya tiba di pantai ini. Pantai yang cukup ramai. Namun seramai-ramainya Pantai Legian, ada sudut lengang yang bisa kita gunakan untuk menjatuhkan tubuh di pasirnya yang mulai berkilauan digantang cahaya. Sambil menunggu momen favorit sepanjang masa yang dinamakan senja, saya melanjutkan bacaan novel yang belum khatam. Ternyata ini jauh lebih menyenangkan ketimbang saya membacanya di dalam kamar hotel. Senja Legian yang cantik menemani saya menghabiskan hari.

 

4. Napak Tilas Bom Bali

Foto oleh Annisa Andrie

Seorang introvert adalah pengamat yang baik. Diamnya bukan melulu soal lamunan. Di manapun dia berada, seorang introvert selalu ‘membaca’ keadaan. Dia suka sekali mengamati apa pun yang ada di depan matanya, terlebih yang mengusik perhatian.

Sekedar berkeliling di sekitar Legian dengan berjalan kaki maupun bersepeda motor, bisa mendatangkan pemahaman baru di dalam kepalanya.

Seperti pagi itu, Legian masih cukup lengang karena bule-bule mungkin masih terlelap setelah pesta semalaman.  Jalan utama Legian juga belum macet. Saya berjalan di sepanjang trotoar. Untuk ukuran sebuah kawasan pusat hiburan, menurut saya Legian terbilang cukup asri. Masih banyak pohon-pohon rindang di tepi jalan, di antara pertokoan dan pusat perbelanjaan merk dunia.

Hingga akhirnya, kaki saya berhenti di depan sebuah pub yang namanya mendadak terkenal pada 12 Oktober 2002. Paddy’s Pub. Di tempat ini dulu terjadi ledakan bom yang memakan ratusan korban jiwa. Seketika pikiran saya dipenuhi bayangan tentang kepanikan malam mencekam saat terjadinya ledakan. Wisatawan yang sedang berlibur, mencari hiburan dan bersenang-senang, dalam sekejap dijemput maut. Dari sini saya berpikir, tak ada sekat yang tegas antara garis maut dan hidup, kapan dan di mana saja kita berada.

Setengah bergidik, saya pun melanjutkan langkah kaki menuju Monumen Bom Bali yang letaknya juga di Jalan Legian. Sederet nama korban ledakan bom yang tersemat di sebuah bangunan tinggi menjulang, serta beberapa ucapan ulang tahun dari keluarga korban, kembali membuat batin ini mencelus. Banyak sekali sesuatu yang bisa diselami dari peristiwa dan realita ini.

Foto oleh Annisa Andrie

Sejatinya perjalanan adalah memperoleh pemahaman baru. Tentu, ini sangat berjodoh dengan seorang introvert yang dikatakan senang memasukkan pemikiran baru untuk hidupnya. Berharap bisa meng-upgrade diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik setelahnya, apa pun bentuk jiwanya.

 There is a kind of magicness about going far away and then coming back all changed – Kate Douglas Wiggin

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU