Berkunjung Ke Museum Tsunami Aceh Tak Pernah Mudah, Terutama Bagi Para Korban Tsunami

Museum Tsunami Aceh memang luar biasa. Namun, berkunjung kesana tak pernah mudah bagi para korban tsunami.

SHARE :

Ditulis Oleh: Faiz Jazuli

Aku berdiri seorang diri ditengah sebuah ruangan cukup luas. Ruangan ini bernuansa abu-abu. Menurut buku tentang psikologi yang pernah kubaca, sisi positif abu-abu adalah sebuah netralitas.

Sementara sisi negatif dari abu-abu adalah kelembaban, depresi dan kekurangan energi. Aku sendiri tak begitu paham darimana psikolog-psikolog itu menetapkan hal tersebut, menurutku warna abu-abu adalah warna yang hangat.

Kembali kulangkahkan kaki mengelilingi ruangan. Aku berdiri disebuah display foto digital berukuran besar. Cukup besar karena aku harus mendongakan kepalaku untuk membaca judul foto tersebut.

Kutatap foto sebuah jam mati.

Jarum pendeknya menunjuk angka 8, dan jarum panjangnya berada di antara angka 3 dan 4. Jam tersebut tergeletak diantara reruntuhan puing bangunan. Dibelakangnya nampak sebuah rumah yang separuh hancur. Dua jarum yang tak lagi bergerak tersebut, seolah ingin bercerita tentang masa itu, saat gelombang tsunami yang luar biasa dahsyat meluluh-lantakkan nyaris semua kehidupan tempat tersebut.

Kulempar pandangan kesekitar. Museum ini cukup lengang. Desainnya nampak modern dan artistik.

Saat kutatap dari luar, museum ini tampak seperti kapal penyelamat dengan geladak yang sangat luas. Mendadak aku menjadi penggemar Ridwan Kamil. Arsitek yang kini menjadi walikota Bandung tersebut mendesain museum ini dengan begitu apik.

Desain museum membuat siapapun yang berkunjung seolah mengalami flashback ke masa saat terjadinya peristiwa tsunami 10 tahun silam. Saat memasuki museum ini, aku melewati sebuah lorong gelap dengan dinding yang begitu tinggi.

Tiba-tiba atas rambutku terasa dingin. Cucuran air menetes dari atas. Awalnya aku berpikiran, atapnya bocor,museum ini mungkin kurang terawat dengan baik. Setelah dijelaskan oleh saudaraku, seorang warga lokal, lorong tersebut memang didesain menyerupai suasana gelombang tsunami.

Akhir tahun ini aku berkunjung ke tempat seorang saudara di Banda Aceh sekedar untuk lepas kangen. Semenjak peristiwa tsunami pada 2004 lalu, aku belum sempat mengunjunginya. Dirinya termasuk korban selamat, meski seluruh harta bendanya ludes ditelan gelombang tsunami.

Kau tahu betapa mengerikannya kondisi saat itu, benar-benar sesuatu yang sulit diceritakan dengan kata-kata.”

Aku memang sempat mendengar ceritanya lewat sambungan telepon, namun baru kali ini aku mendengar langsung darinya.

Media mungkin menulis,’gelombang sangat tinggi’,’seluruh area luluh lantak’,’orang-orang berlarian ketakutan menuju tempat lebih tinggi’, atau apalah, tapi percayalah,kamu tidak akan dapat benar-benar membayangkan bagaimana situasi saat itu,” dia bercerita dengan berapi-api.

Aku mendengarkan dengan seksama.

“Kopi?” dia menawarkan. Aku hanya mengangguk pelan.

Dirinya berjalan kedapur mengambil 2 buah cangkir. Terdengar bunyi “tok,tok,tok” saat kaki kanan palsunya melangkah di atas lantai kayu ini. Saat peristiwa tersebut dia kehilangan salah satu kakinya.

Kondisinya yang terjepit reruntuhan saat ditemukan membuat tim penyelamat tidak ada pilihan lain selain memotong kakinya agar nyawanya dapat diselamatkan.

Dia duduk kembali sambil menyodorkan secangkir kopi hangat.

Nanti kuajak kau kesuatu tempat. Pada awalnya aku sama sekali tak berpikir sanggup berkunjung ke tempat tersebut. Tempat itu membuatku teringat sesuatu yang sangat mengerikan,” Dia menatapku tajam.

Namun pastinya aku tak bisa hidup terus seperti itu, seiring waktu traumaku menghilang, memang masih ada rasa takut, tapi tidak separah dulu,” dia bercerita sambil terus mengaduk-aduk kopinya.

Sekarang aku berdiri di dalam museum ini.

Museum ini dibangun berdasar filosofi-filosofi kehidupan. Begitu pikirku. Pikiran tersebut muncul saat aku masuk ke sebuah cerobong raksasa bernama “Ruang Penentuan Nasib” atau “Fighting Room”.

Cerobong bernuansa remang-remang, dengan ukiran nama-nama korban di dindingnya, serta lafadz “Allah” di puncak cerobong, membuatku merenung sejenak. Cerobong ini menggambarkan perjuangan korban-korban tsunami saat gelombang datang. Tangga yang dibuat memutar menggambarkan arus yang bergulung-gulung.

Bayangan orang-orang yang berjuang saat ditelan gelombang memenuhi kepalaku.

Membayangkan bagaimana rasanya berada diantara batas hidup dan mati. Ditengah air dingin, tak bisa bernafas, diterjang benda-benda keras, digulung tekanan air yang begitu besar. Mendadak bulu kudukku merinding.

Aku segera mengajak saudaraku keluar dari ruangan tersebut. Dia sendiri nampak kurang nyaman berada ditempat tersebut.

Aku masih berjalan-jalan mengelilingi ruangan abu-abu. Saudaraku beristirahat karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan untuk berjalan lama. Nampak sebuah miniatur gelombang tsunami disudut ruangan. Dalam miniatur tersebut terdapat boneka-boneka kecil yang menggambarkan orang-orang dipantai yang sedang menyelamatkan diri dari sebuah gelombang sangat besar dibelakangnya.

Seorang wisatawan asing terlihat begitu asyik mengamati miniatur tersebut. Posisi miniatur yang cukup rendah membuat turis tersebut harus berjongkok. Dia mengeluarkan sebuah kamera digital kecil dari saku bajunya.

Aku tidak begitu menyukai miniatur itu,boneka-boneka orang yang menunjukan para korban saat sedang berusaha menyelamatkan diri.” Saudaraku mendekat.

Aku mencoba memahaminya. Hanya ‘mencoba’ yang bisa kulakukan, karena aku yakin aku tak akan benar-benar bisa memahami apa yang saudaraku,dan para korban lain rasakan saat berkunjung ke museum ini.

Didalam mobil saat perjalanan pulang,aku lebih banyak diam.

Bangunan dan jalanan telah dibangun kembali, nampak seperti tak pernah terjadi apapun di masa silam. Meski bangunan fisik telah kembali utuh, kenangan dan trauma tentang bencana 10 tahun silam ternyata masih begitu membekas bagi para korban, dan aku berpikir betapa hebatnya mereka yang mampu bangkit lagi semua yang telah menimpa mereka.

Dibandingkan dengan diriku yang masih sering mengeluh saat menghadapi sebuah masalah yang bisa dibilang tak ada apa-apanya dibanding masalah kehidupan mereka.

Tiba-tiba aku merasa begitu malu pada diriku sendiri. Perjalananku ke Banda Aceh nampaknya tak sia-sia, aku mendapatkan perlajaran berharga disini, sebuah pelajaran tentang “apa itu semangat hidup”.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU