Berhenti Arogan, Saatnya Kita Belajar dari Malaysia

Perubahan bukan tentang waktu atau kesempatan yang tepat, perubahan mulai dari diri kita sendiri.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Foto dari Investvine

Malaysia mencuri reog kita, Malaysia mencuri batik kita, Malaysia mencuri lunpia kita, dan mencuri-mencuri yang lain. Mungkin ini respon pertama yang keluar saat membahas tentang Malaysia. Bahkan saya tak heran jika nantinya keluar pernyataan, ‘untuk apa belajar dari pencuri?’

Ada pepatah, jika ingin mendapat ilmu baru, yang pertama harus dilakukan adalah buang dulu rasa tinggi hati kita, rasa ‘jauh diatas’ dan rasa ‘lebih dari siapapun’.

Indonesia luar biasa indah, tak ada yang menyangsikan itu, turis asing, pejabat-pejabat negeri lain, investor, dan juga diri kita sendiri. Semua membanggakannya.

Lalu apa?

Kita terjebak di zona nyaman, “Indonesia luar biasa indah” dan lupa untuk mengembangkannya. Orang bilang, berhentilah membandingkan dengan rumput tetangga, fokuslah memperbaiki diri kita sendiri. Bagi saya tak masalah membandingkan dengan negara-negara tetangga kita, termasuk Malaysia, selama itu positif.

Mari buang ego dan belajar dari tetangga

Membaca tulisan Olive Bendon berjudul, “Indonesia Belajarlah pada Malaysia” saya mendapati fakta yang cukup mengagetkan, bahwa kementrian pariwisata kita ternyata tak memiliki database blogger di Indonesia. Cukup ironis mengingat ucapan Ratna Suranti, Direktur Pencitraan Indonesia dari Kementrian Pariwisata tentang travel blogger sangat positif. Ia menganggap, travel blogger adalah pahlawan tanpa tanda jasa, mereka banyak membantu menulis dan mempromosikan wisata Indonesia meski tak diminta.

Selain itu, saya makin kaget setelah Olive Bendon juga menulis bahwa Malaysia ternyata memiliki database blogger dari seluruh dunia! Fakta tersebut didapatnya setelah bertanya, mengapa ia bisa dipanggil dalam acara Malaysian Tourism Hunt 2013 bersama 79 blogger lain dari Brunei, Filipina, Iran, Italia, Singapura, Thailand.

Malaysia tahu betul pentingnya memberdayakan para blogger.

Selain itu, Olive Bendon menulis, dalam acara Visit Malaysia Year 2014 kala itu, ia benar-benar dibuat takjub dengan segala kemeriahan acara itu yang ternyata telah disiapkan dari setahun sebelumnya! Malaysia tak ragu jor-joran di bidang pariwisata.

Tulisan Olive Bendon tersebut adalah tulisan lama, diterbitkan pada bulan Januari 2015. Semoga saja kini Kemenparekraf telah berbenah.

Selain itu seorang teman bercerita pengalamannya selama 5 tahun tinggal di Jerman, hampir kebanyakan tv/videotron di tempat umum di sana bukan berisi iklan-iklan produk dari Jerman itu sendiri, namun justru iklan pariwisata dari negara-negara lain, dan Malaysia menjadi salah satu negara paling menonjol iklan pariwisatanya selain Korea Selatan. Tagline “Truly Asia” benar-benar mereka dengungkan ke seluruh dunia.

Lalu apa yang harus kita pelajari dari Malaysia ini? Negeri yang memiliki total kunjungan 25 juta wisatawan mancanegara pada 2014 meski jumlah destinasinya kalah jauh dari Indonesia yang punya puluhan provinsi, wisata lengkap dari wisata kota, desa, gunung hingga bawah laut, namun hanya memiliki total kunjungan 9,5 juta wisatawan mancanegara. Apa yang salah? Siapa yang sebenarnya harus kita salahkan? Biasanya itu yang tertanam di pikiran kita, “siapa yang harus disalahkan”.

Problematika bersama

Pada tulisan Indonesia di Mata Traveler Asing karya Ryan Arti di Phinemo, seseorang meninggalkan komentar bahwa selama ini banyak masyarakat yang mengembangkan wisata daerahnya secara otodidak. Peran pemerintah dirasa masih sangat kurang, baik dari segi promosi, infrastruktur, hingga ke pengelolaan. Sementara pihak swasta kurang tertarik mengembangkan kawasan wisata daerah yang menurut mereka kurang berprospek dari segi bisnis, apalagi jika birokrasinya rumit. Memang bagus jika masyarakat dapat mengembangkan wisata di sekitar daerahnya secara mandiri seperti di Pantai Appalarang Sulawesi Selatan yang pernah ditulis Melya Findi. Namun efek negatifnya, karena tak adanya sokongan dana baik dari pemerintah ataupun swasta, masyarakat mau tak mau harus putar otak mencari dana sendiri untuk mengelola tempat tersebut, yang akhirnya kebanyakan berakhir pada pungutan liar pada pengunjung dengan jumlah yang bisa dibilang tak sedikit. Hal ini bisa jadi buah simalakama, pungutan ini terkadang membuat pengunjung menjadi malas berkunjung, namun jika tak melakukan hal itu masyarakat tak memiliki dana cukup untuk mengelola tempat wisata tersebut.

Di Malaysia, semua terjalin dengan rapi mulai dari atas ke bawah, dari pemerintah, swasta, kemudian masyarakat sekitar, kompak mengembangkan tempat wisata di daerahnya. Contoh, kebanyakan bus wisata di Malaysia gratis karena disediakan oleh pengusaha resort/pengelola tempat wisata. Pengusaha meyediakan bus gratis, dengan syarat wisatawan harus dibawa ke tempat wisata mereka. Semua elemen masyarakat di sekitar daerah wisata pun diberdayakan, mulai dari suvenir, kuliner, pemandu, hingga homestay. Mereka dikoordinir dengan rapi. Promo yang dilakukan pemerintah setempat pun tak tanggung-tanggung, sehingga tempat tersebut tetap hidup.

Di Indonesia terkadang saat suatu tempat wisata sudah dibangun, masyarakat telah terberdayakan, namun promo yang dilakukan kurang maksimal sehingga “masyarakat terlatih” itupun menjadi sia-sia. Harapan awal dimana tempat wisata bisa menjadi sumber penghidupan warga tak berjalan lancar.

Berhenti mencari kambing hitam, saatnya bergerak!

Mungkin sudah saatnya berhenti terlalu mengagungkan kata-kata seperti “pesona alam Indonesia luar biasa dari Sabang sampai Merauke”. Memang benar pesona alam kita luar biasa, namun percuma jika tak ada yang mengetahuinya.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengeluh di sosial media suatu tempat overload pengunjung seperti kasus Goa Pindul Jogja ataupun puncak Gunung Andong di Magelang sementara yang lain memposting foto tempat wisata didaerahnya yang tak pernah ramai pengunjung dan mulai tak terawat. Percayalah Indonesia tak kekurangan tujuan wisata. Hanya saja ada yang salah dari sistem promosi kita sehingga ada tempat wisata yang overload, sementara di luar sana mungkin masih sangat banyak tempat yang belum terjamah, dan tak terekspos. Mungkin sudah ada yang pernah berkunjung, namun tak mengeksposnya.

Atau mau terus-terusan membuat status mengkritik ketidak-becusan pemerintah mempromosikan potensi pariwisata kita?

Cara paling simpel adalah, jadilah seorang duta pariwisata tidak langsung, minimal untuk daerahmu sendiri. Berhentilah mengatai daerahmu sendiri dengan, “memang apa yang menarik dari daerahku?” Tugasmu untuk mengeksplor daerah tempat tinggalmu dan bagikan cerita tentangnya pada dunia. Menulis dan memotret tentu tak butuh usaha banyak, apalagi dengan menjamurnya sosial media di masyarakat kita, jika bisa membuat kata-kata yang unik dan foto yang bagus, unggah ke akun sosial media kita atau blog, hal tersebut akan mudah tersebar. Akan lebih bagus jika mengirimkannya ke media-media tentang traveling yang kini sudah banyak yang menerima tulisan dari warga masyarakat.

Sekarang ini sangat banyak blogger yang aktif dan fokus mengangkat tentang daerah sekitarnya, seperti Iqbal Kautsar menulis tentang Kebumen, adapula Backpacker Borneo di Kalimantan, atau yang lebih luas lagi dan bertekad mengenalkan Indonesia pada dunia, adalah Firsta Yunida yang membuat website bernama discoveryourindonesia.com . “Mengapa “your Indonesia”bukan “my Indonesia” ? Karena Indonesia adalah milikmu juga, milik kita bersama. Harus kita jaga bersama” begitulah Firsta menyebutkan alasannya memilih nama “discoveryourindonesia”.

Indonesia memiliki potensi, hanya saja kita tak mengembangkan potensi itu secara maksimal. Pemerintah, swasta dan juga masyarakat harus bersatu demi kemajuan pariwisata kita.

Untuk kita, teruslah menulis agar tempat itu tetap hidup. Tak perlu takut tempat tersebut akan rusak karena terlalu diekspos. Tak bisa dipungkiri kita memang belum cukup dewasa untuk menjaga keindahan alam negeri ini, terbukti dengna masih banyaknya aksi vandalis mulai dari puncak gunung hingga bawah laut, namun kita pasti akan terus belajar untuk lebih menghargai apa yang kita punya.

Perubahan bukan tentang orang lain, waktu ataupun kesempatan yang tepat, perubahan mulai dari diri kita sendiri

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU