Belajar Arti Berjuang dari Anak-anak di Kaki Gunung Slamet

Anak-anak di Kaki Gunung Slamet tetap semangat sekolah meski kondisi serba terbatas. Perjuangan mereka memberi membuat hati siapapun trenyuh.

SHARE :

Ditulis Oleh: Rossita Kurnia Rahayu

CC Flickr 2.0 Akbar Nurseptian

Di tempat tinggi, hampir pucuk tepat di Kaki Gunung Slamet, aku belajar soal arti mempertahankan

Gunung Slamet yang terletak di Jawa Tengah cukup populer di kalangan pendaki. Tak heran aku sering menemukan foto-foto pendaki berfoto di puncaknya beterbaran di timeline sosial mediaku. Namun cerita kali ini bukan tentang pendakian, melainkan mengenai sebuah desa “yang ditinggal” di kaki Gunung Slamet.

***

Saat itu aku akan menjalankan tugas menjadi relawan di MTs Pakis, Kampung Pesawahan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Desa ini sangat sunyi.

“Jadi ini bisa disebut desa yang ditinggal, bukan desa tertinggal”.

Gurauan dari bapak pengelola sekaligus guru relawan di MTs Pakis. Entah mengapa kalimat itu membuat aku tersentak karena bila ku lihat potensi-potensi desa ini sangat mungkin untuk dikembangkan.

Jumlah warga desa ini tak banyak, mungkin hanya belasan KK. Tampilan desa ini pun tak ada yang spesial, sama seperti kebanyakan desa lain di lereng gunung, serba hijau, jarak rumah yang berjauhan dan udara yang sejuk. Namun ada satu yang menarik perhatianku, kerumunan anak-anak yang nampak masih lugu yang terlihat sangat bersemangat menuju sekolah. Hal yang memancingku untuk mengenal mereka lebih jauh.

 

Kehidupan MTs Pakis, membalut perjuangan anak desa

Foto oleh Rossita

Sepetak gedung berdiri kokoh di tengah rerimbunan pohon-pohon khas kaki gunung. Bangunan yang berbentuk huruf L menjadi satu tanpa sekat yang sebenarnya terdiri dari tiga ruangan. Sepi, tidak ada puluhan bahkan ratusan siswa sekolah seperti yang ada pada sekolah umumnya. Hanya ada 7 siswa yang bertahan menggunakan fasilitas gedung itu. Dengan seorang pengelola dan 3 orang relawan yang berasal dari berbagai kabupaten.

“Yang tersisa ini ya yang terbaik,” begitu menurut bapak pengelola saat menyambut rombongan kami ketika datang berkunjung. Beliau bercerita hal yang menyayat hati. Sekolah ini bertahan hanya mengandalkan relawan untuk operasionalnya. Mereka rutin datang dan berbagi pengalaman dengan anak-anak tadi yang masih punya semangat besar.

“Sering ada relawan mahasiswa kemari. Ya kadang datang untuk mengajar anak-anak, memberi motivasi, ya senang lah kalau ada yang bisa berbagi pengalaman dan membakar semangat mereka. Relawan tetap hanya 3 orang, yang asalnya dari kabupaten lain. Anak-anak yang bersekolah di sini jumlahnya sedikit karena kebanyakan anak-anak di desa bekerja. Jadi ini desa yang ditinggal bukan desa tertinggal”.

Beliau lanjut bercerita, sejak gedung itu dibangun hingga saat ini belum ada dari pihak pemerintah yang datang untuk melihat kondisinya. Sempat dilakukan penerimaan guru untuk mengajar ditempatkan di sana, sudah ada 20 orang yang mendaftar tetapi saat tahu kondisi di desa yang terpencil, mereka mengundurkan diri. Hanya relawan yang masih tergolong muda yang mau berbagi dan mengisi ruang di sekolah itu. Sudah ada fasilitas seperti buku-buku dan ada beberapa komputer. Segala buku bacaan tertata rapi dalam rak dan kamu tahu, ternyata koleksi bukunya amat lengkap untuk ukuran sekolah terpencil seperti itu. Sayangnya, yang menggunakan hanya 7 orang, sebagian kecil dari penduduk desa.

 

Danau Kumpe, potensi desa yang akan bisa dikembangkan

Danau Kumpe. Foto oleh Rossita

“Di sini kadang banyak mahasiswa yang melakukan kegiatan seperti makrab (malam keakraban), sering untuk kegiatan keorganisasian. Itu di sana kan ada danau, dulu itu sudah mulai dikelola. Tapi karena musim kering kemarin jadi mati.”

Sejuk, pemandangan yang tak kalah menarik dengan destinasi wisata lain seperti di Dieng aku pikir. Danau Kumpe yang menjadi sorotan dan sangat layak dikembangkan sebagai destinasi wisata.

Bapak pengelola MTs tersebut berharap sekali bila desanya kembali dikelola dan dibangun wisatanya agar lebih berkembang dan tidak menjadi desa yang ditinggal lagi. Namun, sayangnya jarang sekali aku ada pemuda desa. Mereka lebih banyak turun ke perkotaan untuk mencari nafkah. Kadang kala ku jumpai kerumunan ibu-ibu di sekitar teras rumah.

Adanya Danau Kumpe yang kini sedikit demi sedikit mulai terisi oleh air karena musim hujan, mulai membuat para pengunjung berdatangan, baik dari desa sekitar atau dari luar daerah.

Aku pun, mulai menyukai suasana di sekitar danau itu. Aku di ajak jalan-jalan sejenak oleh seorang teman untuk mensurvei tempat sekitar sana yang bisa digunakan untuk outbond. Ternyata di sekitar sana terdapat tempat sangat mendukung. Belum lama kabut menutupi danau itu saat aku datang. Pemandangannya luar biasa indah!

Aku pikir, aku akan betah jika harus berlama-lama di sana, udara sejuk selalu di dapat setiap saat. Pemandangan hijau, bebukitan. Kabut yang kadang menyelimuti danau itu, sungguh potensi desa yang sayang jika tak dikembangkan.

 

Kebahagiaan yang sesungguhnya

Foto oleh Rossita

Ikut berkumpul dengan anak-anak di sana ternyata lebih membuat warna dan rasa bahagia yang sesungguhnya. Semua terasa hangat, saat bermain “ABC ada berapa?” mengingatkan pada masa kecilku. Permainan dengan menghitung jumlah jari dengan mengurutkan huruf alfabet lalu kemudian menyebutkan nama buah, nama hewan, berdasarkan huruf yang didapati, sederhana namun menyenangkan. Apalagi melihat mereka berebut nama-nama itu, kecepatan dalam berfikir menjadi latar belakangnya. Mereka semua punya kemampuan yang sama dengan anak-anak kota aku pikir.

Bermain bersama mereka membuat arti kebahagiaan tersendiri. Senyum kepolosan, keceriaan membawa suasana kebahagiaan yang nyata. Latar belakang tak menjadi masalah buat mereka. Yang penting ialah semangat itu tetap ada. Semangat belajar meskipun dengan relawan.

Hatiku trenyuh ketika mendengarkan yel-yel penyemangat anak MTs Pakis.

“Yang muda, Mbangun desa!”

“Yang muda, Mbangun desa!”

“Yang tua, bangun!”

Yel-yel sederhana yang bermakna luar biasa. Yang muda berjuang membangun desa meski mereka tahu kondisi mereka kurang berada. Dan yang tua membimbing yang muda, membangun yang muda untuk tetap semangat berjuang membangun desa yang hampir ditinggalkan itu.

***

Semangat ada untuk siapa saja yang ingin memperjuangkannya. Apapun yang terjadi bukan menjadi alasan untuk berhenti atau menyerah pada keadaan. Aku banyak belajar dari mereka, tentang arti sebuah mempertahankan dan hidup bukan soal mengeluhkan keterbatasan, tetapi soal bagaimana memperjuangankan.

Selalu ada pelajaran dalam setiap perjalanan. Dari bunga kehidupan untuk sebuah desa yang hampir ditinggalkan.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU