Backpacker ≠ Traveler Kere

Banyak orang beranggapan, para backpacker adalah traveler 'kurang dana'. Benarkah?

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Foto dari Lipstiq

Saat duduk santai di sebuah warung makan di wilayah salah satu kampus Semarang bersama beberapa teman, 2 orang turis mancanegara masuk.

Ada sebuah bendera Inggris kecil seukuran ibu jari menancap di belakang ransel mereka.

Setelah memesan nasi ayam dan air mineral, mereka duduk di seberang saya. Seperti pada umumnya, masyarakat kita selalu takjub jika melihat orang asing.

Orang-orang dibelakang saya mulai menggunjingi mereka.

Bule kok makan di warteg, bule kere,’ celetuk salah seorang dari mereka disambut tawa teman-temannya.

Tidak sopan,’ pikir saya. Bagaimana jika ternyata mereka paham Bahasa Indonesia? Saya melirik ke bangku mereka, nampaknya aman. Dua turis itu terlihat sibuk membolak-balik buku Lonely Planet mereka.

Penampilan mereka memang agak lusuh. Si pria mengenakan kaos abu-abu polos, celana pendek safari dan sandal hitam. Si wanita mengenakan kaos putih tanpa lengan, celana panjang dan juga sandal hitam. Ransel besar mereka sandarkan di dinding.

Bule berduit makannya pasti restoran besar, necis, nggak mungkin di warteg,’ timpal seorang lainnya.

Saya yang tak sengaja mendengar obrolan mereka merasa heran. Sebuah pola pikir yang agak ‘aneh’ dan sangat sempit, mengingat mereka adalah mahasiswa. Golongan yang sering dianggap terpelajar.

Backpacker ≠ Pelit

Saat itu pagi dini hari pukul 02.00 WIB tiba di terminal Surabaya setelah menempuh perjalanan melelahkan dari Banyuwangi selama 8 jam.

Saya dan seorang teman mencari tempat untuk sekadar melemaskan punggung. Hampir tak ada tempat kosong tersisa, penuh oleh para penumpang/calon penumpang yang tidur dengna memeluk tas mereka.

Setelah berkeliling sejenak, kami menemukan sebuah ruang kecil depan mesin ATM salah satu bank.

Teman saya rebahan di lantai beralaskan jaket. Sementara saya memilih duduk di sebuah bangku plastik sembari merapikan barang bawaan di ransel.

Seorang turis berambut pirang tubuh tinggi besar tiba-tiba mendekati saya, wajahnya nampak sangat lelah.

Dia bertanya apakah bangku di sebelah saya kosong. Saya mempersilakannya. Setelah menyandarkan ransel 50L-nya ke mesin ATM, dia duduk sembari meneguk bekal air minumnya.

Saya bertanya kemana tujuannya, dia menjawab akan menuju Kawah Ijen, untuk kemudian menyeberang ke Bali.

Obrolan kami berlanjut. Saya sangat kaget saat mengetahui dia bekerja di salah satu perusahaan raksasa teknologi. Tak ada yang tak mengenal perusahaan tersebut.

Dia berada di Indonesia untuk menghabiskan waktu cutinya. Ini ke-3 kalinya dia ke Indonesia, dan dia berkata tak pernah bosan berkunjung kesini.

Saya perhatikan penampilannya dari atas ke bawah.

Saya perkirakan umurnya sekitar 27-30 tahun. Hanya mengenakan kaos tipis, celana pendek dan sandal butut. Jambang lebat menghiasi wajahnya.

Sama sekali tak terlihat bahwa dia bekerja di salah satu perusahaan raksasa tersebut. Sebuah perusahaan yang konon menggaji karyawannya hingga ratusan juta rupiah per bulan.

Saya bertanya mengapa tak menggunakan pesawat saja, lebih cepat dan nyaman, atau mungkin menggunakan jasa agen travel.

Jawabannya sangat menarik. Menurutnya, hal tersebut sama sekali tak menyenangkan baginya.

Saya tak datang ke Indonesia jauh-jauh hanya untuk duduk di kursi pesawat empuk, dibangunkan seorang dari agen travel keesokan paginya, kemudian saya berjalan di belakangnya, mengikuti semua jadwal yang telah dia buat.’

Saya paham maksudnya.

Jika melihat standar gajinya, sangat mudah baginya liburan mewah di Indonesia. Tapi dia tak melakukannya.

Baginya, pengalaman adalah segalanya, karena itu dia memilih capai-capai kesana-kemari menenteng ransel besar dan berdesak-desakan di bus.

Backpacker = Traveler Cerdas

Saat kuliah dulu, saya memiliki seorang teman yang hobi melanglang buana ke berbagai negara. Saat itu dia baru saja selesai berkeliling Asia Tenggara. Terang saja dia langsung menjadi pusat perhatian.

Mungkin banyak mengira dia adalah orang kaya -termasuk saya, bisa berkeliling Asia Tenggara dan beberapa negara Eropa.

Karena penasaran, saya menanyakan hal itu padanya.

Kamu percaya nggak kalau aku cuma keluar Rp 50.000/hari untuk makan, dan nginap di hostel keren cuma Rp 80.000,-?‘ ujarnya sembari tersenyum.

Backpacking itu tentang bagaimana kamu mengelola bujet,’ tambahnya.

Saya teringat pengalaman saat di Banyuwangi saat teman seperjalanan saat itu tak hentinya menggerutu hanya karena mendapat motor sewaan yang lebih mahal Rp 15.000,- dibanding yang biasanya dia dapatkan di daerah lain.

Baginya Rp 15.000,- pun sangat berharga di perjalanan. Padahal jika mau, bisa saja dia mengambil uangnya di ATM. Namun dia sangat anti hal tersebut, karena menurutnya dia harus disiplin pada bujet yang sudah dia tentukan.

Untuk efisiensi bujet banyak yang bisa dilakukan. Ada yang rela tidur di bandara, berburu tiket pesawat promo hingga tengah malam, membawa bekal makanan yang dikeringkan untuk menekan bujet makan, memilih menggunakan kapal ferry ke Karimun Jawa daripada boat cepat, atau bahkan melakukan hitchhike/menumpang kendaraan seperti yang dilakukan ketua BPI Surabaya sehingga berhasil memangkas ongkos perjalanan hingga Rp 0,- saat traveling di beberapa negara.

Jadi, masih berpikiran kalau backpacker = traveler kere?

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU