9 Hal yang Menandakan Kamu Sedang Berada di Medan

Selalu ada hal menarik ketika melancong ke daerah asing. Salah satunya Medan, kota sejuta marga yang memiliki daya tarik tersendiri.

SHARE :

Ditulis Oleh: Prameswari Mahendrati

Tak ada yang lebih menantang dari petualangan di kota orang, suasana baru, orang asing, tradisi yang tak biasa membuat kita tertantang untuk menjadi seekor kecoa, seorang yang mampu beradaptasi di berbagai lingkungan baru. Waisata menantang tak melulu melancong ke suku dan desa adat dengan kearifan lokal yang kental dengan aturan.

Melancong ke kota-kota besar juga menjadi bagian untuk melatih diri untuk tidak menjadi turis di negeri sendiri. Bermula dari rasa salut terhadap banyakya teman yang berasal dari Medan membuat saya penasaran dengan kondisi di salah satu kota terbesar di Indonesia.

Tak salah jika orang Batak disebut sebagai “juaranya pendatang”, hampir di setiap kota saya temui orang-orang batak dengan berbagai provesi. Maka inilah saatnya keluar dari zona nyaman, melancong ke kota Medan, kota dengan sejuta marga.

1. Berkeliling Kota dengan Bentor Medan

Menikmati sore hari dengan cuaca yang tak begitu panas, berpegangan pada kerangka besi dari sisi kanan dan kiri, dan sesekali memperbaiki rambut yang berantakan karena kibasan semilir angin. Tak ada yang lebih nikmat berkeliling kota medan dengan Bentor atau becak Medan.

Agak sulit untuk bertanya dan berbincang tentang destinasi di kota Jogja karena si supir becak berada tepat di belakang tempat kita singgah. Namun, di Medan saya bisa bertanya dengan puas kepada supir becak.

Desain bentor dengan posisi supir tepat berada di sisi kanan membuat saya puas untuk bertanya semua hal tentang kota Medan.

2. Memanjakan Lidah dengan Kudapan Mahal di Negeri Belanda

Tekstur legit saat menggigit bagian ujung, cita rasa yang tak terlalu manis di lidah membuat saya rela untuk menghabiskan seloyang ukuran sedang. Rasa-rasanya persinggahan di Kota Medan tak lengkap jika tak memenuhi rongga perut denggan kelezatan Bika Ambon.

Apabila di Belanda saya baru bisa menikmati kue berwarna coklat kuning seharga 8.9 EUR atau sekitar Rp 106.192-an. Tapi, di tanah Medan, saya bisa puas melahap tanpa harus merogoh kocek lebih dalam.

3. Menyeruput Kopi Terbaik di Medan

Duduk di teras rumah melawan dinginnya angin malam di perumahan warga yang dikelilingi perkebunan kopi Robusta dan Arabika, mendengarkan suara jangkrik yang saling bersauata.

Menyeruput cairan berwarna hitam pekat dengan sedikit tambahan gula adalah yang terbaik dilakukan menjelang malam. Kopi Sidikalang salah satu kopi tanah air yang tak kalah dengan produk kopi dari Brazil.

4. Bahasa Medan vs Bahasa Indonesia

photo by Prameswari Mahendrati

Beda daerah, maka beda pula kosa kata yang digunakan. Semarang memiliki kosakata unik seperti montor mabur dan bangjo. Medan pun memiliki kosa kata yang berhasil membuat pengguna bahasa Indonesia terkecoh.

Pajak, Pasar, dan kereta tentu tiga kosa kata yang sudah sangat familiar dalam bahasa Indonesia. Namun, di Medan memiliki arti yang sangat bertolak belakang. Pajak memiliki arti pasar, Pasar sama dengan jalan besar, dan kereta tak lain adalah sepeda motor.

Kosa kata yang serupa dengan bahasa Indonesia menjadi salah satu hal sepele yang membuat rindu kota di Sumatera bagian utara ini sepulang ke tanah Jawa.

5. Menjamah Rumah Penampungan Para Buaya

Tak ada yang berani membayangkan bergelut bersama buaya dengan berat ratusan ton kecuali seorang Steve Irwin, pembawa acara Crocodile Hunter yang selalu saya tonton sewaktu duduk di bangku SD.

Berada di antara lebih dari 2000 buaya berbadan tambun yang terkurung di dalam kangdang membuat saya seperti layaknya Steve Irwin yang mengendalikan mereka dengan seekor ayam.

Bermodal sebatang tongkat panjang dengan potongan ayam yang telah terikat di ujung tongkat, maka seketika buaya-buaya itu akan menghampiri layaknya anak anjing. Tembok pengaman cukup untuk melindungi diri dari ganasnya buaya-buaya itu.

6. Menghabiskan Siang Hari di Pasar Hongkong

photo from travel.detik.com

Tak ingin menyia-nyiakan waktu sedikitpun di kota yang jauh dari tempat tinggal, panas teriknya matahari pun rela untuk diterjang untuk sekedar menikmati pusat keramaian.

Tak hanya Pecinan yang dimiliki oleh kota Semarang sebagai pusat perdagangan yang didominasi oleh warga Tionghoa, bahkan ketika berkunjung ke Medan, suasana seperti di Hongkong akan didapatkan dengan cuma-cuma.

Berburu kain tekstil, menikmati jajanan pasar khas Medan, atau hanya sekedar melihat-lihat menjadi sah untuk menikmati suasana khas komunitas Tionghoa.

7. Nada Bicara Khas Masyarakat Lokal Batak

photo from indoparsada.blog.com

Terkejut sekaligus bingung, secara tiba-tiba dimarahi oleh seorang laki-laki bertopi sembari menunjuk-nunjuk tas kecil yang saya bawa ke Pasar Hongkong. Wajah yang tampak serius dan mata yang melotot berhasil membuat saya sedikit takut.

Padahal tak lain beliau hanya ingin memperingatkan untuk waspada terhadap pencopet. Tak terbiasa dengan logat dan nada yang tinggi dan keras membuat saya harus selalu ingat, bahwa ini Medan, bukanlah Jawa.

8. Inang yang Menenun di Siang Hari

photo from sibaja.besaba.com

Bersantai sambil merebahkan tubuh di teras menikmati semilir angin sesekali mengotak-ngatik kamera mencari objek apik sebagai oleh-oleh. Menoleh sedikit ke teras rumah warga, maka objek menarik akan didapatkan.

Lebih dari sekedar pemandangan, kegiatan seorang dan sekelompok inang yang tampak serius menenun ulos adalah objek yang dosa untuk ditinggalkan.

9. Tradisi Mangokkal Holi, Rumah Bagi Tulang-Belulang Manusia

photo from anthonynh.blogspot.com

“Silsilah keturunan marga bagi kami itu sangat penting, supa tetap abadi eksistensinya”, jelas seorang inang yang berdiri di samping saya ketika menyaksikan tradisi Mangokkal Holi di sela-sela kerumunan manusia berbadan tinggi besar. Tar terlalu jelas saya lihat bagaimana bentuk tulang-belulang leluhur mereka, tapi para keturunan tampak mengistimewakan tulang dari nenek moyang mereka sebagai penghargaan.

10. Vokal e dari Kata “Semua” Hampir Mustahil

photo from lemina.org

Bertanya arah kepada tukang parkir, menanyakan harga kepada pedagang bika ambon, dan berbincang dengan supir bentor membuatku semakin yakin bahwa mustahil jika saya mengharapkan mereka untuk mengucapkan konsonan e seperti kata “semua”.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU