Suasana malam ini lebih ramai dari yang diperkirakan. Dinginnya malam yang biasanya terasa, berubah menjadi gerah luar biasa. Apa daya, saya sudah terlanjur berjanji menjadi guide untuk teman-teman lama dari Bogor.
Beberapa hari yang lalu saya dihubungi oleh tiga orang teman saya Dalu, Lora, dan Ulhaq. Sobat lama yang hendak berkunjung ke Semarang-Jogja. Atas dasar alibi saya yang sering berkunjung ke kota pelajar ini, mereka mempercayakanku untuk menjadi pemandu selama berada di dua kota ini.
Berawal dari wisata Candi Borobudur, Prambanan, Taman Sari, hingga menikmati sunset di Pantai Sundak, sampai akhirnya wisata belanja yang ditunggu-tunggu oleh para gadis Bogor ini, apalagi kalau Bukan Malioboro.
Surga belanja bagi para wisatawan luar maupun dalam negeri. Surga belanja yang mampu membuat seseorang menjadi kalap dalam berbelanja. Paling tidak itulah yang dulu saya rasakan ketika traveling pertama ke kota ini.
Hampir semua benda unik berbau batik dan etnik ingin saya serbu untuk dijadikan buah tangan. Pengalaman yang merogoh kocek ini tidak akan saya biarkan menimpa teman saya yang memiliki karakter hobi belanja.
Beberapa hal memang perlu diperhatikan ketika menginjakan kaki di salah satu jalan terpopuler di Jogja ini. Hasrat belanja dan mental konsumtif harus ditekan dengan sedemikian mungkin.
Barang-barang khas Jogja yang bisa Kamu pilih, misalnya kaos Dagadoe, tas kulit atau tas eceng gondok, gantungan kunci berbentuk wayang kulit, dan aksesoris dari batu-batuan.
“Mencari tau di mesin pintar seperti google, souvenir apakah yang khas dan hanya dapat ditemui di Jogja, itulah yang saya lakukan untuk menekan biaya agar dompet tidak terkuras lebih dalam”
Saya selalu menawar harga 50% lebih rendah dari harga yang ditawarkan, karena jika diperhitungkan, pedagang pasti sudah menaikan harga 20% sampai 30% lebih mahal.Agar mendapat harga yang lebih miring, kita harus menawar harga jauh di bawah persentase itu.
“Sesekali memang Kamu harus bersikap sadis dalam membanting harga”
Percaya atau tidak, penampilah juga mempengaruhi harga barang. Setelah beberapa kali saya ke Malioboro, saya baru menyadari bahwa dengan barang yang sama, saya memperoleh harga berbeda.
Sekali dua kali, saya berpenampilah rapih layaknya seorang wisatawan. Setelah diberi saran oleh seorang yang baru saya kenal di Jogja, barulah saya tahu pelajaran terpenting, yaitu gunakan pakaian sehari-hari layaknya warga lokal.
“Pedagang biasanya menaikan harga lebih tinggi kepada wisatawan, karena dianggap buta harga terhadap barang yang dijajakan”
Sebagai perantau di kota Semarang, paling tidak saya sudah tahu dasar-dasar bahasa Jawa, sehingga akan lebih mudah dalam tawar menawar barang.
“Apabila kita berkunjung ke sebuah tempat, tidak ada salahnya membelajari beberapa bahasa untuk percakapan standar, minimal untuk menawar barang agar Kamu lebih terlihat sebagai warga lokal”
Usahakan agar Kamu tidak terlihat sebagai seorang yang membutuhkan barang tersebut. Semakin terlihat sebagai orang yang menginginkan barang, maka akan semakin jual mahal pedagang itu.
Suatu ketika, teman saya pernah mengincar sebuah tas etnik yang terbuat dari eceng gondok, karena terlihat sangat menginginkan barang tersebut, pedagang memanfaatkan keadaan dengan menaikan harga lebih tinggi, karena mereka tahu sifat dasar perempuan jika menginginkan suatu barang, 80% kemungkinan membeli barang tersebut.
Atas dasar pengalaman polos itu, kali ini saya mencoba bersikap sok jual mahal.
“Saya selalu berusaha terlihat tidak membutuhkan barang tersebut lalu meninggalkan kios itu. dalam hitungan detik, dijamin pedagang itu akan kembali menawarkan barang dengan harga lebih murah”
“Monggo mbak gantungan kuncinya murah, Rp 5.000 dapat dua” atau “monggo dilihat-lihat mbake, beli satu nanti tak kasi bonus satu”. Kalimat seperti inilah yang selalu saya dengar setiap kali datang ke blok di Malioboro.
Ketahanan mental kita sebagai wanita yang memiliki hobi belanja akan benar-benar diuji. Sekedar saran dari teman yang sudah lama tinggal di Jogja, justru kalian akan mendapatkan harga lebih miring dibandingkan penawaran gombal para pedagang tersebut.
“Keberanian dalam menawar sangat diperlukan di sini”
Apabila kalian tidak mendapat harga sesuai terhadap barang yang diinginkan, ingat poin ke 5, jual mahal. Jika pedagang tak kunjung memanggil kalian untuk kembali, jangan kecewa karena
“masih banyak pedagang di sepanjang jalan yang menjual barang yang sama”
Berbelanja memang membutuhkan sebuah seni, seni menahan hasrat memborong dan seni menawar barang. Untuk menguasai semua teknik, saya membutuhkan waktu tiga kali kunjungan ke Malioboro untuk menjadi wisatawan pintar dalam berburu souvenir.
Hal yang paling mendasar adalah kenali dan pahami budaya setempat, termasuk bahasanya, karena itu semua akan sangat membantu ketika Kamu traveling, tidak hanya berlaku di Malioboro, Jogja.
Baca juga artikel : Pelajaran Berharga dari Penjual Tiwul Pantai Sundak