Udara berdebu kerap membuat saya sulit bernafas, gelombang pendaki yang turun gunung berkali-kali memaksa saya harus menepi, rasa pegal di pundak, paha dan betis semakin menjadi, baru kali ini pendakian Gunung Ciremai terasa berat sekali.
Berkali kali saya bertanya dalam hati “Apa sebabnya pendakian kali ini terasa begitu berat?” Pikiran pun mulai me-reka ulang kejadian-kejadian dari awal masa persiapan hingga sekarang terduduk lesu berteman debu, di pinggiran jalur pendakian dekat pertigaan Apuy-Palutungan. Dan setelah dicari-cari, ternyata masalahnya ada pada suasana hati. Sejak awal perjalanan, pendakian kali ini banyak sekali memunculkan hal-hal menyebalkan yang membuat saya kurang menikmati perjalanan.
Ada beberapa hal kurang menyenangkan di Pendakian Gunung Ciremai di bulan Agustus lalu.
Dimanapun dan kapanpun, mengantri adalah pekerjaan membosankan yang seringkali membuat kesal, apalagi kalau harus mengantri di jalur pendakian, sudah pasti sangat menyiksa. Dan pendakian ini, saya sukses merasakannya. Kaki dan pundak dijamin bakal terasa cepat pegal, apalagi seringkali mengantre di tanjakan, penderitaan jadi terasa berkali-kali lipat.
Seperti halnya penyakit kemacetan yang sering terjadi di perkotaan, antrian saat itu pun disebabkan oleh sempitnya jalur pendakian dan jumlah pendaki yang super banyak. Maklum saat itu sedang 17-an, rencananya di puncak Gunung Ciremai akan dikibarkan bendera merah putih sepanjang 500 meter, dan sialnya 2 jalur lain sedang ditutup karena kebakaran, alhasil semua pendaki tumpah ruah memenuhi jalur Palutungan.
Saat sebuah kawasan di gunung diisi ratusan atau ribuan tenda pendaki, jangan berharap kamu bakal mendapat suasana damai nan sepi khas hutan pegunungan, yang ada hanya kebisingan seperti di pasar tumpah yang tiba-tiba memenuhi jalanan. Soal polusi suara dari banyaknya orang yang mengobrol, bercanda, atau tertawa, saya sudah maklum menerima dengan sabar dan ikhlas, karena memang resiko mendaki di musim ramai.
Yang kerap membuat saya agak jengkel adalah teriakan-teriakan tak jelas yang kerap di buat beberapa orang pendaki dengan alasan yang tak bisa saya terka. Dan sialnya, ada saja pendaki lain membalas teriakan tersebut, akhirnya semakin ramailah mereka berteriak sahut-sahutan. Yang bisa saya lakukan lagi-lagi cuma bersabar.
Sedikit tips buat kawan-kawan yang mau mendaki saat musim pendakian sedang ramai, usahakan untuk berangkat se-awal mungkin, jangan terlalu santai untuk pergi belakangan, karena jika terlambat, bisa-bisa nanti tak kebagian tempat untuk berkemah.
Di pendakian ini kelompok saya hampir mengalaminya, rencana mendirikan tenda di Goa Walet batal, karena ada yang bilang Goa Walet sudah penuh. Alternatif berikutnya, ada pos Sanghyang Ropoh dan Pasanggrahan, dan ternyata penuh juga. Beruntung alam masih memberikan tempat buat kami, tiba-tiba ada seorang pendaki dari grup lain berbaik hati menunjukkan area yang cukup luas tak jauh dari shelter tempat kami beristirahat, entah siapa yang mulai membuka lahan itu. Meski bukan shelter yang biasa dijadikan tempat berkemah, namun tempat itu benar-benar sangat nyaman, kami pun akhirnya bisa berkemah di sana.
Sebelum tidur, saya bersama beberapa kawan sudah berdiskusi tentang rencana memburu sunrise di puncak. Karena tempat berkemah kami yang cukup jauh, rencananya kami akan mulai mendaki sekitar jam 3 pagi.
Sialnya saya bangun jam 7 pagi, sangat jauh dari target yang sudah direncanakan, mungkin karena efek lelah dan waktu tidur yang terlalu malam. Akhirnya perjalanan ke puncak pun baru dimulai sekitar jam setengah 9 pagi.
Di awal-awal, perjalanan ini terasa cukup menyenangkan dengan jalur pendakian yang kosong melompong saat kami lewati. Berikutnya, setelah lewat pos Sanghyang Ropoh, memasuki jalur yang mulai berdebu, tiba-tiba muncul segerombolan pendaki yang turun dari puncak, kami yang sedang naik harus berbaik hati mengalah untuk memberi mereka jalur.
Setelah rombongan kecil tersebut lewat, kami lanjut berjalanan, hingga tak lama kemudian, ada lagi rombongan lain yang muncul dari atas, kali ini jumlahnya banyak, kami terpaksa kembali menepi untuk waktu yang cukup lama. Berikutnya, rombongan yang turun malah semakin banyak karena ternyata kami naik berbarengan dengan ribuan pendaki yang sedang turun dari puncak, kami harus melawan arus. Pendakian jadi semakin sulit dan melelahkan cuma gara-gara bangun kesiangan, rezeki saya benar-benar sudah keburu dipatok ayam.
Menggunakan buff sebagai masker malah membuat saya sulit bernafas saat menapaki tanjakan demi tanjakan terjal, sedangkan jika dibuka, lubang hidung sudah pasti akan banyak menghisap debu yang bercampur dengan udara, serba salah jadinya. Tanjakan setan menuju puncak Gunung Ciremai kali ini harus saya lalui dengan susah payah, gelombang pendaki yang turun, kondisi tanjakan terjal yang semakin parah, udara yang semakin minim oksigen, serta lautan debu yang berterbangan menjadi kombinasi rintangan yang benar-benar sukses membuat saya geleng-geleng kepala.
Saat sedang kepayahan menapaki tanjakan demi tanjakan, saat tarikan napas mulai terasa semakin berat, rasa pegal di paha, betis dan punggung juga sudah mulai terasa semakin menyiksa, eh tiba-tiba di pinggiran jalur, terlihat pemandangan adegan romantis khas FTV yang diperankan 2 sejoli pendaki. Dan pemandangan ini bukan sekali dua kali saya lihat, tapi 4 kali!
Beginilah susahnya jadi pendaki jomblo, sudah cukup kepayahan dihajar kondisi pendakian yang menyulitkan, harus ditambah dihajar perasaan makan hati pula, lengkap sudah penderitaan di cerita kali ini.
Meski tak seindah pemandangan pagi hari, puncak Gunung Ciremai kala itu masih menyisakan sebaris lautan awan yang cukup mempesona untuk dipandang berlama-lama. Pemandangan langit bersih dengan gradasi warna biru muda yang semakin ke atas semakin menua, benar-benar sukses menyejukkan hati sedang gundah gulana. Hembusan angin yang cukup kencang memberi efek relaksasi yang menenangkan pikiran.
Namun tak lama berselang, tiba-tiba, di belakang saya, jauh di seberang kawah Ciremai yang sangat lebar, asap berwarna putih sedikit kecokelatan muncul ke permukaan, menimbulkan rasa ngeri bercampur kepanikan yang mengganggu pikiran. Bagi saya, dari semua ancaraman bahaya yang bisa dihadapi saat mendaki, kebakaran adalah momok paling menakutkan. Seketika nyali saya ciut, saya panik ingin segera turun, beruntung ada om Enda, seorang kawan pendaki tua yang sudah sering mendaki Ciremai lebih dari 50 kali, ia berbagi cerita pengalaman menghadapi kebakaran Ciremai, dan memberikan sedikit wejangan yang berhasil menenangkan saya.
Sebenarnya saya masih ingin menikmati suasana puncak lebih lama lagi, namun apa boleh buat, keselamatan harus selalu diutamakan, segera turun untuk menuju ke tempat aman adalah pilihan paling bijak untuk dilakukan.