Akhir tahun lalu, saya memutuskan melakukan solo tour dengan mengunjungi beberapa lokasi alam yang masih terdengar asing di telinga saya.
Hidup nomadic selama satu bulan dengan berkeliling dari satu daerah ke daerah lain mengandalkan kendaraan umum sebagai alat transportasi andalan, sedangkan untuk penginapan saya mengandalkan tenda oranye dengan merek berlambang daun maple yang saya bawa semenjak dari rumah.
Saya memilih tenda ini berdasarkan review sebuah situs pendakian gunung yang menyebutkan bahwa tenda kapasitas dua orang ini sangat kokoh dan kuat menerjang badai.
Namun sayangnya saya tidak mempertimbangkan berat dan ukuran packing tenda tersebut yang sangat aduhai, sangat tidak cocok untuk saya kenakan saat sedang melakukan perjalanan seorang diri.
Segala kendala yang diakibatkan oleh salah pilih “kamar inap” tersebut selalu coba saya tolerir, sebelum akhirnya saya bertemu dengan bapak Satrio, seorang solo traveler asal Surabaya yang berbaik hati mengenalkan mengenai tren baru dalam ultra light hiking ketika menjelajah alam dengan lebih simpel dan praktis, hammock camping.
Hammock adalah shelter serba guna yang berbentuk menyerupai ayunan dan biasa digunakan untuk beristirahat santai hingga bermalam.
Saat ini menjelajah alam menggunakan hammock sebagai tempat peristirahatan menggantikan tenda konvensional sudah semakin banyak diminati para pegiat alam di Indonesia, terutama bagi mereka yang menganut aliran ultra light hiking.
Hal ini bisa dilihat dari mulai banyaknya produsen lokal yang memproduksi hammock berkualitas dengan harga terjangkau.
Lalu, apa saja sebenarnya kelebihan dari hammock hingga saya memutuskan meninggalkan tenda saat sedang solo camping?
Hal utama yang menjadi pertimbangan saya untuk meninggalkan tenda dan menggantinya dengan hammock saat sedang solo camping adalah karena hammock memiliki massa yang jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan tenda.
Berat satu set hammock standar lengkap beserta tali webbing dan carabineer pengikatnya hanya berkisar antara 500 hingga 700 gram saja, bandingkan dengan tenda ultra light ukuran satu orang lengkap dengan flysheet dan frame alumunium yang rata-rata mencapai berat antara satu hingga dua kilogram.
Slogan “Leave no Trace” yang sempat popular di kalangan penggiat alam beberapa tahun lalu menjadi salah satu alasan saya dan para hammockers untuk semakin mantap meninggalkan tenda.
Ini karena dalam penggunaannya hammock hampir tidak meninggalkan bekas pada alam sama sekali.
Seperti saat memutukan bersantai di tepi pantai yang cantik di tepi kota Tuban, saya tidak perlu lagi menebas ilalang atau menyingkirkan batu karang untuk mendirikan tempat beristirahat, cukup kaitkan hammock di antara dahan pohon Ketapang kemudian ikat !
Awalnya saya pun mengira bahwa menggunakan hammock hanya bisa pada daerah yang memiliki dua pohon besar yang berdekatan saja.
Akan tetapi pendapat tersebut segera terbukti salah ketika pak Satrio mengirimkan fotonya yang sedang bersantai di salah satu jajaran pantai bagian selatan Jogjakarta.
Di dalam foto tersebut terlihat ia sedang bersantai di dalam hammocknya yang menggantung di antara tebing salah satu pantai di bagian selatan Jogja.
Terlihat begitu ekstrim namun juga sangat keren. Rupanya tidak hanya di kaki gunung atau tepi pantai, hammock mendekati kriteria shelter idaman saya karena juga bisa menggunakannya hampir di segala medan.
Simple adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan karakter hammock masa kini. Saya hanya perlu mengaitkan tali webbing yang terdapat pada kedua ujung hammock pada benda apapun yang nampak kokoh, entah itu pohon, tiang pancang, hingga tebing curam, kemudian voila! Saya sudah bisa mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman untuk bermalam seharian.
Tidak ada lagi kisah bujet tambahan untuk mengganti frame yang patah saat salah posisi mendirikan tenda seorang diri.
Seiring dengan banyaknya hammockers di Indonesia, para produsen hammock lokal pun mulai menambahkan aksesori penunjang yang memberi kenyamanan lebih untuk para pelanggannya.
Mulai dari improvisasi bahan dari jaring menjadi bahan nylon yang lebih kuat dan hangat, menambah jaring kelambu untuk menghindari dari serangan serangga, hingga memberikan flysheet dan frame tambahan agar hammockers terhindar dari basah akibat hujan juga embun.
Seorang teman, yang juga seorang pecinta hammock mencoba “meracuni” ketika ia tahu saya akan survey lokasi camping beberapa bulan lalu.
Beliau meminjamkan satu set hammock yang telah ia modifikasi menggunakan tambahan kelambu yang bisa dibongkar pasang menggunakan retsleting untuk saya gunakan sebagai pengganti tenda.
Jika dikombinasikan dengan flysheet ukuran tiga kali tiga meter sebagai pelindung atap dari terpaan hujan, maka hammock ini sudah lebih dari cukup sebagai shelter yang mumpuni di segala medan meski dengan cuaca hujan.
Ditambah dengan packing dan berat yang tidak lebih besar dari ukuran sleeping bag, saya jadi bisa menghemat banyak tempat di dalam tas daypack 50 L kesayangan ketika sedang solo camping ke manapun saya pergi.
***
Saat ini jumlah pecinta hammock di Indonesia semakin banyak, bahkan saya menemukan grup Facebook bernama “Hammockers Indonesia” dengan anggota lebih dari empat ratus orang yang berbagi tips dan trik untuk bertualang menggunakan hammock sebagai shelter andalan.
Saya percaya kedepannya jenis dan macam hammock akan semakin beragam dengan memberikan lebih banyak kemudahan bagi para penggunanya. Jadi, untuk kamu yang suka bertualang dengan barang bawaan ringan, saya sangat menyarankan untuk sesekali mencoba hammock camping.
Leave no trace and happy hammocking !