Sejak kecil, saya sering diajak keluarga untuk tamasya. Ragunan, Taman Mini Indonesia Indah, Ancol, Curug, Anyer. Begitu bersekolah, kegiatan tamasya berubah menjadi study tour dari Bogor hingga Bandung.
Saya akrab dengan kegiatan jalan-jalan sejak kecil, harusnya Orang Tua saya memahami itu. Namun, seiring bertambahnya usia, pengawasan pada diri saya semakin ketat. Saya hanya diperbolehkan pergi bersama keluarga, tidak ada jalan-jalan bersama teman lagi.
Hingga bulan Oktober 2014, saya dan Sheila mempunyai ide untuk menjadi backpacker yang didasari oleh cuti bersama.
Saat itu kami ingin sekali merasakan Jalan-jalan kece ke Bromo. Berfoto dengan pakaian cantik di puncak Bromo, menunggang kuda, melihat sunrise. Tiket Kereta api ekonomi kami beli sejak jauh-jauh hari untuk menekan biaya perjalanan kami.
Semuanya berubah ketika Rekta -teman Sheila, mengatakan bahwa biaya ke Bromo amat sangat mahal.
‘Daripada ke Bromo, lebih baik kita ke Ranu Kumbolo saja’, begitu katanya saat itu.
Saya yang sejak sekolah memiliki hasrat terpendam tentang gunung tentu saja setuju jika perjalanan kami dialihkan kesana.
Sore itu, pada tanggal 25 Oktober 2015 kami bertiga melakukan perjalanan ke Malang.
Diantara ramainya Stasiun Pasar Senen, gerbong yang penuh sesak, dan cahaya matahari sore, kami memulai perjalanan dengan saling bercerita dan bersenda gurau tentang apapun yang menurut kami lucu.
Yang saya tahu, saya merasa senang dan sangat exited. Tapi yang belum saya tahu, sifat menyebalkan yang ada pada diri saya akan muncul satu persatu bersamaan dengan pendakian ini.
Ketika meminta izin kepada orang tua, sebenarnya saya tidak berbohong. Saya mengatakan bahwa tujuan kami ke Malang, bermalam disebuah danau selama beberapa hari, dan melakukan acara kemah.
Hanya saja saya tidak menyebutkan bahwa kami akan kemping di Gunung Semeru. Jika Ibu saya tahu anak bungsunya ini berkeliaran di gunung, saya yakin Ibu akan protes keras dan tidak mengizinkan saya pergi.
Saya butuh liburan, satu-satunya cara agar mendapat izin adalah dengan menunjukkan tiket kereta seminggu sebelum jadwal keberangkatan dan berkata bahwa kami hanya akan mengadakan kemah ceria tanpa saya tahu bahwa semudah apapun jalur di gunung, saya tidak boleh meremehkan pendakian.
Malam harinya ketika saya berkemas, Ibu datang mendekat dan memberikan sekantung gula merah. Ibu bilang untuk bekal perjalanan agar tidak cepat haus -ilmu yang dikatakan oleh kakak sepupu saya ketika mendaki Gunung Pangrango.
Saat itu saya ingin menangis. Tanpa saya katakan bahwa saya ingin ke gunung, sebenarnya Ibu tahu tujuan saya. Hanya saja Ibu berpura-pura tidak tahu agar tidak terlalu cemas.
Setelah pergi selama 5 hari, sore itu saya sampai dirumah dan disambut dengan ledekan “muka hitam” oleh keluarga.
Ibu lalu bertanya apakah saya naik gunung? Saya menjawab, ‘iya!’ dengan wajah polos dan senyum lebar khas anak kecil.
Ibu hanya menggelengkan kepala, pada malam harinya saya menceritakan semua tentang pendakian di Semeru.
Sebenarnya saat kembali saya memang berniat untuk bercerita pada Ibu. Saya hanya lupa jika di kereta saya sempat berganti foto profil di whatsapp dan terlihat oleh saudara, itulah yang pertama kali membuat Ibu tahu bahwa anaknya ini ke gunung bukan dari ucapan saya langsung.
Segerombolan orang yang duduk diseberang bangku kami amat sangat berisik, membuat alis saya mengeriting -rombongan yang terdiri dari 2 wanita dan beberapa pria yang terlihat lebih ‘terawat’ dari saya.
Refleks saya melemparkan pandangan tidak suka pada mereka.
Saya benci suasana berisik, yang membuat kepala saya berdenyut. Bunyi kereta api kelas ekonomi saja sudah memekakan telinga.
Ditambah dengan gerombolan orang yang saya yakin mereka akan jalan-jalan kece ke Bromo, bukan naik gunung sederhana seperti kami bertiga.
Malam datang, suasana yang sempat sepi karena mereka tidur kini kembali ramai. Mereka bahkan melakukan tantangan untuk berlenggok bagai model di catwalk dengan wajah penuh bedak tabur putih.
Lambat laun, saya merasa terbiasa dengan mereka.
Ini adalah bagian dari pendakian pertama saya yang belum tentu dirasakan oleh orang lain. Lagipula mereka tidak selamanya menyebalkan.
Mereka tetap menawarkan kotak brownies mereka pada kami meskipun tahu bahwa saya bersikap jutek pada mereka. Mereka juga tidak protes ketika kaki saya yang lelah menjuntai hingga melewati batas bangku seberang.
Di Stasiun Malang Kota Lama, kami berpisah dengan gerombolan itu. Dalam hati saya berkata, ‘maaf karena saya tidak bisa menjadi orang yang ramah pada kalian.’
Kami duduk dibangku untuk empat orang.
Disebelah Rekta ada Ibu berusia setengah abad lebih keturunan India bertubuh besar yang sejak awal selalu tersenyum pada kami. Ibu itu bercerita tentang perjalanannya sendiri untuk pulang ke Malang, setelah berkunjung dari rumah saudaranya di Jakarta.
Sheila dan Rekta menanggapi Ibu itu dengan wajah berbinar.
Sedangkan saya? Saya hanya mengangguk dan sesekali tersenyum.
Malam hari ketika kereta berhenti di Stasiun Cirebon, saya ikut Rekta keluar dan membeli makanan untuk Ibu itu dengan waktu singkat dan segera berlari ketika kereta berbunyi menandakan akan segera berangkat lagi.
Ibu itu merelakan bangkunya untuk kami, sedangkan beliau berniat untuk tidur dibawah bangku karena beliau bilang sakit punggung jika terlalu lama duduk.
Ketika Rekta menggelar matras, menyingkirkan carrier hingga masuk ke kolong bangku, ibu itu bersyukur dengan mata berbinar dan mengatakan bahwa perjalanannya kali ini sangat beruntung karena bertemu dengan anak-anak baik seperti kami.
Diantara lalu lalang orang dan malam yang berganti pagi, obrolan bersama ibu mengalir lancar. Saya tertawa dan sesekali menanggapi dengan nada bercanda hingga ibu memukul bahu saya gemas.
Di pendakian pertama, saya bertemu dengan sosok ibu yang menjaga kami selama 15 Jam lebih. Terima kasih ibu.
Kami memulai perjalanan dari Ranu Pani setelah makan siang dan berdoa.
Menurut beberapa teman, jalur menuju Ranu Kumbolo sudah jelas dan tidak bercabang, serta banyak terdapat bonus.
Hingga sore menjelang Magrib, kami berhenti di Pos 3.
Tubuh Sheila menggigil, keringat membuat pakaiannya basah dan ia mengatakan akan menyerah.
Saya memandang Sheila, kemudian tanjakan curam yang ada disebelah Pos 3. Langit mulai gelap, kami merasa bahwa kami adalah rombongan terakhir menuju Ranu Kumbolo, sampai datang 2 orang yang duduk sambil mengatur nafas -Yosrine dan Alfi.
Berlima kami menyusuri pepohonan menuju Pos 4. Malam itu saya jalan didepan tanpa menoleh karena berpikir mereka ada dibelakang saya.
Lalu saya menengok ke belakang, dan kosong.
Saya sendiri dibelokan gelap dan berteriak pada mereka. Begitu turun dari Pos 4 menuju Ranu Kumbolo Sheila mengalami kram pada kaki dan duduk ditengah turunan.
Saya berada beberapa langkah didepan Sheila namun tidak kesana, saya mual bila membayangkan naik lagi.
Dari tempat saya berdiri, saya melihat dengan sabar Yosrine memijat kaki Sheila. Orang yang kami temui kurang dari dua jam, begitu baik dan perhatian.
Sedangkan saya? Ah, saya memang egois.
Mereka tidak akan pernah melepaskan saya. Mereka akan selalu menjaga saya.
Untuk itu diperjalanan pulang saya juga tidak akan melepaskan mereka. Saya akan berbalik dan jalan kebelakang lagi apabila mereka berteriak minta ditunggu. Saya mengulurkan tangan ketika Yosrine tidak kuat dijalan menanjak, sebaliknya Yosrine akan mengulurkan tangan dijalan menurun.
Begitu sampai di Pos Ranu Pani, kami bertiga berpelukan erat karena terharu. Wanita seperti kami mampu mendaki gunung, jika kami memang mau berusaha.
Kecuali Yosrine, karena ia mampu membuat saya terharu. Selebihnya saya termasuk orang yang tertutup, awalnya.
Orang yang ingin dekat dengan saya haruslah yang mudah akrab dan tahan banting. Karena sungguh kesan pertama saya adalah sombong.
Di warung Mbak Nur daerah Tumpang, kami baru sampai setelah menaiki truk sayur dan melihat beberapa pendaki sedang membereskan carrier.
Diujung sana ada wanita bertubuh kecil yang sedang marah karena kerilnya berat, ia mendumel sendiri dan itu membuat saya mundur karena takut. Betapa terkejutnya saya karena didalam kereta sebagian penumpang gerbong dipenuhi oleh Pendaki Semeru, dan ada wanita itu.
Saya tahu itu dia, namun saya segan menyapa. Ia melihat kami bertiga dan berseru kencang sambil tersenyum “kalian yang tadi ada di warung Mbak Nur kan?’ Lantas ia mengulurkan tangan dan bergaya seperti sedang memotret diri sendiri –selfie, tepat ketika menyebutkan namanya, ‘Nama saya Selfi. Sebelum kalian mencela lebih baik saya bergaya terlebih dahulu, hahaha.’
Detik itu juga saya membuang segala pikiran negatif tentang Kak Selfi. Selain fenomena Kak Selfi juga ada beberapa Pendaki senior yang kelihatan sudah berumur namun bergaya nyentrik.
Pagi harinya kami berbincang tentang banyak hal.
Tentang pengalaman mereka mendaki gunung, alamat basecamp, serta pekerjaan mereka. Saya pun terbawa hingga jatuh hati.
Tidak seperti wajah dan gaya yang seram, mereka jauh lebih ramah dari yang saya bayangkan.
Mereka membuat kami tertawa, bahkan membagi potongan melon pada kami. Saling bertukar pengalaman tentang gunung hingga pin BB.
Pagi itu gerbong kereta diramaikan oleh suara para pendaki. Pemandangan sawah diluar jendela pun terasa lebih indah. Kami berpisah setelah sampai pada stasiun tujuan masing-masing.
***
Selain 5 sifat menyebalkan itu, saya yakin masih banyak kekurangan dalam diri saya. Betapa pendakian pertama membawa seribu makna.
Memberi pelajaran tak terhingga dan perubahan dalam diri saya. Merenung di tempat indah bernama Ranu Kumbolo, kemudian berjanji akan menjadi teman yang lebih baik dan saling menjaga.
Melalui pendakian, Tuhan memberikan kesempatan saya untuk berubah dalam waktu singkat. Terima kasih semuanya, untuk pendakian pertama saya yang luar biasa