Banyak hal terjadi pada kunjungan pertamaku ke Jepang.
Aku berkunjung ke Kanazawa, daerah pegunungan, 3-4 jam dari Kansai airport-Osaka menggunakan kereta. Dua minggu di Kanazawa memberikan pelajaran yang sangat berharga.
Paling mudah menemukan tempat sampah adalah di dekat vending machine. Sebuah kotak setinggi kulkas dua pintu yang bisa mengeluarkan barang, biasanya minuman dengan cara memasukkan uang dan memilih dengan memencet gambar minuman apa yang kita inginkan.
Jumlah tempat sampah di Kanazawa jauh lebih sedikit dari pada di Semarang. Saya lebih sering membawa sampah itu sampai penginapan karena tidak menemukan tempat sampah di jalan. Tidak seperti Singapura hampir disetiap tempat umum terdapat informasi denda jika membuang sampah sembarangan, Jepang tidak perlu itu, dan kota tetap bersih.
Di tengah malam, gara-gara kelamaan menunggu temen belanja, akhirnya harus ketinggalan bus. Di sini bus memiliki jadwal pasti, setiap halte terdapat sebuah display menggunakan led berwarna merah. Berisi informasi kapan bus datang dan jarang sekali meleset.
Gara-gara telat 5 menit kami harus menunggu 15 menit untuk kedatangan bus selanjutnya. Akhirnya kami memilih untuk berjalan menuju halte berikutnya sejauh 2km. Ini lebih baik dari pada kedinginan di pinggir jalan. Kebetulan saat itu adalah musim dingin. Salju masih terlihat di beberapa titik.
Tadi malam saya harus menyeberang jalan untuk membeli wedang tahu di daerah bukit sari Semarang. Saya menyeberang di zebra cross. Mobil atau motor tidak ada bedanya. Mereka lebih suka membunyikan klakson dari pada berhenti dan memberikan kesempatan saya untuk menyeberang.
Sangat berbeda dengan hal tersebut, ada kejadian unik yang membuat saya semakin takjub melihat bagaimana orang Jepang bersosialisasi. Saat melintasi sebuah persimpangan gang, ada mobil yang keluar dan sedang menunggu untuk berjalan masuk ke jalan besar. Tapi saat melihat kami akan menyeberang, pengendara mobil tersebut memundurkan mobilnya dan memberikan kami kesempatan untuk melintas duluan.
Namun tidak semua pengendara di Indonesia ugal-ugalan. Pada suatu kesempatan ketika saya keluar dari tempat pengiriman paket dan harus menyeberang jalan, sopir truk berhenti dan menyalakan lampu hazard, mungkin dia berniat untuk memberi informasi ke pengendara di belakangnya bahwa ada saya yang mau menyeberang.
Pelajaran matematika memang susah, pelajaran ini selalu menjadi prioritas pertama dalam belajar sebelum UAS sewaktu SMP atau SMA. Seakan pelajaran lain bisa dipelajari dalam semalam, sedangkan untuk matematika butuh 2 minggu.
Walaupun matematika adalah dasar dari semua ilmu eksak, saya yakin belajar mengantri itu lebih penting. Orang mengantri di ATM mungkin sudah biasa, tapi di Jepang orang mengantri dengan jarak hampir satu meter. Sampai sekarang saya masih belum paham kenapa mereka melakukan itu.
Di sini orang berjalan lebih banyak dari pada yang naik kendaraan. Trotoar mempunyai rasio jalan hampir sama dengan jalan raya. Orang berjejer 3-5 untuk berjalan bareng pun cukup. Tapi harus sediakan ruang untuk orang lain yang terburu-buru agar bisa menyalip.
Agar dapat menghemat pengeluaran, saya lebih sering jalan kaki dari pada naik bus. Entah ini karena suasana yang berbeda sehingga berjalan jauh di sini tidak terasa atau ada hal yang memaksa untuk berjalan, saya tidak tahu.
Tapi saya telah mencoba berjalan dari penginapan di Jl. Parangtritis Jogja, selanjutnya berkeliling kota dari Alun-alun kidul, Tamansari juga Malioboro. Dengan suasana dan keadaan yang sangat berbeda, panas, dan juga mempunyai trotoar yang cukup untuk satu orang. Tapi perjalanan ini jauh lebih baik dari pada berkeliling menggunakan motor.
Banyak hal unik yang bisa ditemui dengan menelusuri tempat baru dengan berjalan kaki dan berinteraksi dengan orang lokal.