Kesalahan besar jika kita tidak membawa bekal saat mendaki, meskipun mendaki pada pegunungan yang ketinggiannya tidak melebihi 1500 mdpl sekalipun. Karena mendaki bukan hanya soal mental dan passion. Tapi bagaimana cara kita dapat mengelola energi di tubuh kita.
Saya ingat akhir November 2014 silam ketika mendaki di pegunungan Andong Magelang. Ketika itu saya mendaki dengan teman-teman yang berjumlah sepuluh orang. Ternyata untuk sebagian teman dalam rombongan pendakian saat itu termasuk pendakian pertama. Mual, pusing dan sindrom ketinggian dirasakan oleh mereka. Saya dari rumah sudah berbekal gula merah sebesar dua ruas jari telunjuk yang saya selipkan di pinggir tas carrier. Saya menyuruh mereka ngemut gula jawa seperti permen. Ternyata setelahnya mereka merasa lebih nyaman dan siap untuk melanjutkan pendakian.
Meski saya bukan professional hiker tapi setidaknya saran-saran ini membantu saya saat sedang mendaki di pegunungan Andong Magelang dan Prau Dieng. Berbekal pengetahuan dari saudara yang lebih dulu mengetahui seluk beluk dunia pendakian. Saya belajar dari saran-saran yang ternyata manfaatnya langsung bisa dirasakan.
Terutama untuk para pendaki wanita dan pemula, berikut keuntungan membawa bekal ini ketika mendaki:
Si gula merah ini ternyata ikut ambil adil dalam memberi manfaat ketika badan sedang lemas saat perjalanan. Seperti contoh pengalaman yang saya tuliskan di atas, gula jawa termasuk makanan yang mengandung banyak karobohidrat dan glukosa yang terkandung di dalamnya yang mudah untuk dicerna. Dan ternyata baik dikonsumsi untuk penderita anemia. Tentu dari segi harga relatif lebih murah dari pada harga sebatang dark cokelat yang di jual di supermarket. Tak perlu banyak-banyak, setengah ruas kelingking cukup untuk satu orang dan siap menemani pendakian. Simpanlah di pinggir tas carrier agar mudah di ambil ketika dibutuhkan.
Bawalah beberapa buah pisang. Selain kulitnya yang tidak membuat kita kerepotan untuk membuangnya. Ternyata buah pisang memiliki manfaat serupa dengan gula jawa yang memiliki glukosa yang mudah di cerna, bedanya pisang lebih mudah dicerna secara bertahap.
Sering kali para pendaki mengeluhkan perut yang kembung akibat perbedaan tekanan udara antara dataran tinggi dan dataran rendah. Seperti ketika saya pergi ke gunung Andong meski hanya sebuah pegunungan yang memiliki tinggi 1726 mdpl. Perut yang terisi banyak angin dan susah untuk dikeluarkan ternyata sukses membuat perut sakit pada saat perjalanan. Tidak ingin hal buruk terjadi, saya ingat pesan saudara saya untuk mengunyah atau jika kita tidak mampu menahan rasa nya cukup dibagi kecil kecil untuk memudahkan menelan layaknya obat. Dengan begitu perut akan terasa hangat dan memudahkan untuk mengeluarkan gas pemicu sakit perut.
Bumbu dapur yang sangat mudah kita temukan di laci bumbu ini juga berperan saat pendakian. Cuaca malam yang sangat dingin membuat tenda berembun. Meski tidur di dalam sleeping bag kaki saya tidak hentinya menggigil dan gigi saya bergemeletuk. Kesalahan terbesar saya adalah sebelum tidur saya mengoleskan balsem pada kulit yang sensitif dengan dingin. Bukan hangat yang saya dapat, namun dingin yang di rasa semakin bertambah. Tidak mau terkena hiportemia untuk ekspedisi ke dua saya, bawang merah menjadi daftar barang yang harus dikepak. Meski bau yang ditimbulkan memang kurang sedap. Namun ketika mendaki semua itu adalah pilihan.
Ini adalah bekal paling wajib di bawa untuk para pendaki. Namun hati-hati ketika mengonsumsi air putih saat mendaki tengah malam. Hawa yang dingin ditambah terlalu banyak mengonsumsi air akan membuat kita sering ingin buang air kecil. Dan itu pula yang akan menghambat kita lama menuju puncak. Barang bawaan tersebut dapat kita temukan dengan mudah di sekitar kita bahkan di dalam rumah kita. Soal harga pun kita tidak akan mengelurakan banyak budget untuk membelinya. Apa salahnya dicoba?