5 Hal yang Harus Dilakukan di Hutan Kota Banda Aceh

Hal-hal berikut ini wajib kamu lakukan saat berada di Hutan Kota Banda Aceh!

SHARE :

Ditulis Oleh: Makmur Dimila

Foto oleh Makmur Dimila

Refreshing. Alasan utama saya suka mengunjungi Hutan Kota BNI Banda Aceh. Dengan membayar karcis parkir seharga dua ribu rupiah, saya sudah bisa menikmati keanekaragaman hayati di dalam rimba di tengah kota itu. Sepuasnya.

Namun beberapa pengunjung membuat ulah, kadang di situ yang membuat saya sedih ketika bertandang ke hutan seluas seluas 7,15 ha ini. Karena itulah, saya lakukan lima hal ini selagi sempat.

1.Injak-injak ‘prasasti cinta’

Papan sambung-menyambung membentuk jembatan di bagian barat taman. Bentuknya siku-siku. Menanjak hingga ketinggian lima meter. Kiri dan kanan dibuat pegangan. Saya paling suka menaiki bagian yang dinamai Jembatan Tajuk ini. Keseluruhan isi taman bisa saya tatap, pun bangunan-bangunan di luar. Ada gugusan Bukit Barisan di selatan, Pulau Weh di uatara dari jarak 30-an km, perkotaan di arah yang lain.

Tapi itu sebuah kenangan lama. Ketika pertama kali mengunjungi taman yang diresmikan tahun 2010 ini.

Kini vandalisme melumuri sekujur Jembatan Tajuk. Puluhan pasangan nama di lantai maupun pagar jembatan cukup mengganggu pemandangan. Banyak lambang hati di antara dua nama, cara menyatakan cinta yang klise. Membuatnya layak saya sebut Jembatan Cinta.

Sebagai aksi protes, saya cuma bisa memijak ‘prasasti cinta’ itu. Pengunjung lain secara sadar atau tidak juga melakukan hal yang sama. Duh, cinta mereka menjadi alas kaki.

2. Tolong jangan bercinta di tong sampah!

Turun dari ‘Jembatan Cinta’, saya susuri trek setapak yang membelah hutan kota.

Rasa jengkel mulai membara tatkala menapaki papan-papan Jembatan Tambak Bakau. Jalur ini meliuk-liuk di atas tambak yang ditumbuhi mangrove. Namun keindahan refleksi bayangan mangrove di permukaan air terkotori botol-botol minuman dan sampah plastik yang mengapung di sekitar jembatan.

Bahkan saya syok ketika mendapati tong sampah di tengah-tengah jembatan. Ada ‘pengunjung yang bercinta di tong sampah’.
Lambang hati di antara dua nama mengotori drum sampah berwarna merah jambu pudar. Dan dengan jelas saya lihat, di balik tong sampah itu ditempeli peringatan ‘Hormati diri sendiri, jangan berbuat khalwat’. Itu pun dicoret-coret.

Bacalah cerita Rome dan Juliet, mereka tak bercinta dengan cara seperti itu.

3. Ciptakan kreativitas di antara pepohonan

Sore hari, sembilan puluh lima jenis pohon di Taman Hutan Kota Banda Aceh seperti bersahabat dengan pengunjung.

Remaja bermain basket di lapangan dekat gerbang masuk. Mengalihkan pandangan, ada pemuda mengenankan spatu sport, celana pendek, baju kaos, dan headset di telinga. Dia lari-lari kecil di jalur setapak yang sedang saya lalui.

Di antara asam jawa, saya menyaksikan dua gadis dengan setelan hijab bergiliran menjadi model dan fotografer.

Di bawah Jembatan Tajuk, gadis berbalut terusan putih bersandar pada cemara laut. Ia dibidik oleh beberapa pemuda dari posisi berbeda.
Sekelompok muda-mudi berbusana sopan, duduk melingkar di antara trembesi, dengan buku di hadapan mereka.

Selepas Jembatan Tajuk, ada taman kanak-kanak sebelum menjumpai Jembatan Tambak Bakau. Perosotan, ayunan, kursi putar, tangga melengkung, menyebar di bawah kanopi daun cemara. Di area itu, dengan latar kolam teratai, saya diwawancarai satu komunitas untuk membuat video dokumenter.

4. Kenali tanaman khas Nusantara

Suatu kali usai meninggalkan Jembatan Tambak Bakau, saya susuri trek yang dipagari cemara laut, hingga berhenti lama di Taman Walikota Nusantara. Pada Mei 2011, sebanyak 99 Walikota se-Indonesia menanami pohon khas kota masing-masing. Walikota Sabang tanam ketapang (Terminalia catappa), Walikota Dumai tanam durian plintung (Durio zibethinus), Walikota Semarang tanam asam jawa (Tamarindus indica), Walikota Jambi tanam bulian (Eusidroxylon), dan Walikota Singkawang tanam kalimbawan (Sarcotheca dioersi olia).

Saya seperti keliling Nusantara. Mengenal setiap kota dari tanaman khasnya.

5. Joging sambil mengenal burung di pagi hari

Kadang-kadang, saya joging di trek Taman Hutan Kota Banda Aceh, bila tak sempat mengejar matahari terbit di trek bantaran Krueng Lamnyong. (Baca: Lima Hal yang Membuat Joging di Banda Aceh Lebih Menyenangkan).

Tak ada pengunjung lain, kecuali petugas pemeliharaan taman.

Saya melintasi jembatan kecil sebagai gerbang masuk hutan kota ini. Bertukar udara dengan aneka ragam hayati, saya lepaskan karbondioksida ke lingkungan dan menghirup oksigen darinya. Hawa segar membelai tubuh saya selama joging di trek sepanjang satu kilo meter. Sekali putar, sudah membuat wajah saya basah.

Sebelum pulang, saya jalan kaki sambil menikmati hangatnya sinar mentari dan mendengar kicauan burung.

Di utara taman, kuntul sedang menghujamkan kakinya yang panjang ke dalam Tambak Bakau. Ia ‘berdehem’ lalu terbang dengan seekor ikan air tawar di mulutnya. Burung gereja mendarat di rumput, berjinjit dan bercicit.

Di selatan taman, gerombolan apang tanah yang tubuhnya mirip burung gereja, terbang saat saya mendekat. Dari dahan-dahan pohon ketapang, merbah cerukcuk melompat ke tanaman angsana dekat lapangan basket. Perkutut jawa alias meurbok, bersenandung di sisi lain.
Saya mendongak, gerombolan kuntul kecil berwarna putih meluncur di udara. Burung-burung ini pula yang sering melintasi di depan lanskap subuh Krueng Lamnyong, membentuk huruf V, saat saya joging di sana.

Ada 22 jenis burung yang bermigrasi ke Hutan Kota Banda Aceh, berdasarkan pengamatan tim observasi pada awal 2012. Saya telah melihat sebagiannya.

Semakin sering saya ke hutan kota ini, semakin besar kesadaran saya untuk menjaga lingkungan tetap hidup.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU