Taman Nasional Alas Purwo yang terletak di Kabupaten Banyuwangi ini mungkin tak seterkenal Kawah Ijen dengan api birunya sehingga banyak wisatawan yang datang ke Banyuwangi kerap kali melewatkan Alas Purwo.
Tapi siapa sangka kalau ternyata Alas Purwo yang sering disebut orang-orang sebagai “Hutan Angker” ini ternyata menyimpan begitu banyak hal menarik di di dalamnya!
Di tengah hutan Alas Purwo terdapat sebuah Candi Hindu yang bernama Situs Kawitan. Nama Kawitan ini sendiri berasal dari bahasa Jawi “Kawi” yang artinya tua. Dikatakan seperti itu karena masyarakat mengkaitkannya dengan Hutan Alas Purwo yang dipercaya sebagai tanah yang pertama kali ada saat penciptaan tanah Jawa.
Teman perjalanan saya yang memang warga asli Banyuwangi mengajak saya untuk masuk sekaligus melakukan ritual kecil. Ia berkata, jika hal tersebut perlu dilakukan untuk meminta izin kepada penghuni ghaib Alas Purwo, agar sesuatu yang buruk tidak terjadi selama kami berada di sana.
Fenomena musim gugur yang hanya ada di negara 4 musim memang suka membuat orang-orang ‘berkantong tipis’ seperti saya hanya bisa mengelus dada. Tapi setelah saya datang ke Alas Purwo, rasa penasaran saya jadi terobati karena di tengah Alas Purwo ternyata ada hutan duplikat musim gugur!
Sekadar saran, jika inign mendapat hasil foto yang bagus, datanglah di musim penghujan. Kamu akan mendapati sebagian pepohonan di Alas Purwo berdaun merah berguguran. Luar biasa indah!
Sadengan berjarak sekitar 2km dari pintu masuk Pos Rawa Bendo. Sadengan sendiri merupakan padang sabana. Saya menyebutnya sebagai Afrika-nya Banyuwangi.
Melalui menara pengintai, kita bisa melihat satwa liar seperti Banteng Jawa, Rusa dan lain-lainnya dalam kelompok besar.
Selain itu kita juga bisa melihat merak dalam jarak dekat di sini. Sayangnya ketika saya datang, si merak sepertinya sedang ngambek karena terus sembunyi. Tak hanya satwanya saja yang mempesona, tapi keindahan alam Sadengan patut diacungi ratusan jempol!
Dari area camping ground, untuk menemukan goa pertama, yaitu Goa Astana, dapat ditempuh dengan jalan kaki sejauh 2 km, goa kedua yaitu Goa Mayangkoro jaraknya 2.5 km, sedangkan goa yang ketiga adalah Goa Padepokan dan merupakan goa yang terjauh karena untuk mencapainya kamu harus jalan kaki sejauh 4 km.
Meskipun berada di dalam hutan, tapi tak perlu takut tersesat untuk menemukan ke-3 goa ini. Rutenya cukup jelas, cukup mengikuti jalan melewati hutan bambu dan pepohanan khas hutan lainnya.
Goa-goa ini biasa digunakan sebagai tempat ritual dan pemujaan. Ketika saya dan teman-teman kesana, kami juga menemukan sesajen di dalam goa, nampaknya digunakan sebagai ritual belum lama ini.
Kenapa saya sebut sebagai pantai tanpa nama? Ya, karena pantai ini memang tidak ada namanya dan belum pernah dikunjungi wisatawan. Lokasinya terletak sekitar 1 km dari area camping ground ditempuh dengan jalan kaki.
Favorit saya, ketika memasuki area pantai, maka kita harus menembus semak-semak!
Oh, tak perlu takut tersesat, karena suara ombak akan menjadi pemandu menemukan pantai ini. Sebagai nilai plus, di sepanjang pantai ini berjajar bebatuan berwarna hitam yang unik dan indah untuk berfoto.
Sebagai catatan, kalau ingin mengunjungi pantai ini jangan di saat air laut sedang pasang karena banyak sekali sampah-sampah alam yang terbawa ombak di pantai ini.