5 Hal tentang Orang Jawa yang Tidak Saya Temukan di Medan

Tak pernah mudah menjadi orang perantauan di tempat dengan budaya yang sangat berbeda dengan tempat asal. Seperti halnya bagi saya, seorang Medan yang tinggal di Jawa

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Cerita dari Santa Cicilia Sinabariba, seorang mahasiswi asal Medan yang sedang menempuh program pendidikan Ilmu Komunikasi di salah satu universitas negeri di Semarang.

Foto oleh Santa Cicilia

Pada pertengahan 2014 saya harus menetap di tanah Jawa, tepatnya Semarang karena harus berkuliah di salah satu universitas negeri di sini. Banyak hal yang membuat saya kaget, terutama dari sisi budaya.

1. Cara bicara orang Jawa sangat lembut

Pertama datang ke Semarang, saya harus benar-benar mendekat pada lawan bicara saya. Intonasi dan volume suara mereka sangat lembut.

Berbeda dengan kampung halaman saya di Medan. Semua berbicara dengan sangat keras, bahkan saat saya mendengarkan musik mengenakan headset pun saya dapat mendengar apa yang orang Medan katakan dari jarak 5 meter.

Nada bicara inilah yang sering menimbulkan masalah bagi saya. Saat saya bermaksud menyampaikan sesuatu pada rekan 1 kelompok tugas kampus, beberapa dari mereka tersinggung karena intonasi bicara saya yang meninggi.Mereka mengira saya membentak-bentak dan memarahi mereka.

Hal yang berat memang, namun saya rasa teman-teman kampus saya mulai terbiasa dengan cara berbicara saya. Sayapun berusaha untuk menjaga intonasi bicara demi menghormati adat dan budaya di tempat saya tinggal.

2. Semua makanannya manis, termasuk sambalnya

Saat berkunjung ke suatu rumah makan yang tersohor karena berbagai jenis varian sambalnya – dimana semua teman kampus saya berkata menu di situ sangat pedas, saya tak berani memesan makanan dengan level terpedas. Saya pesan level medium – yang ternyata terasa manis.

Saya mencoba memesan sambal dengan level paling pedas, dan  saya cukup kaget karena itu tak cukup pedas, bahkan masih terasa sedikit manis. Memang saya tak memungkiri sambal tersebut terasa pedas, namun bukan pedas seperti itu yang saya bayangkan.

Pedas yang saya bayangkan adalah seperti olahan makanan ikan arsik di kampung halaman yang membuat mulut terbakar dan keringat mengucur deras. Tak ada rasa manis didalamnya.

3. Semua sangat sopan, termasuk supir angkotnya

Terkadang saya naik angkutan umum untuk berangkat menuju kampus. Hal yang membuat saya terkejut adalah, sopir angkot di Semarang mengucapkan terima kasih setelah saya membayar. Dia pun tak menyuruh saya untuk turun cepat-cepat dan menunggu saya hingga benar-benar turun baru kembali melaju.

Di kampung halaman saya, sangat jarang – jika dikatakan tak ada, sopir angkot yang mengucap terima kasih setelah saya membayar. Bahkan sering berkata, ‘ cepat-cepat, di belakang banyak mobil!’

4. Canggung memanggil ‘Kak’

Pertama saya memanggil seorang laki-laki Jawa yang lebih tua dengan ‘kak’, dia disoraki oleh beberapa temannya. Saya bingung, karena memanggil seorang pria yang lebih tua dengan sebutan ‘kak’ atau ‘abang’ sangat biasa di kampung halaman saya.

Seorang kawan memberitahu, memanggil ‘kakak’ atau ‘abang’ di Jawa identik dengan kedekatan hubungan.

Pada akhirnya saya yang membiasakan memanggil pria yang lebih tua dengan sebutan ‘mas’.

5. Jangan terang-terangan menatap mata saat berbincang dengan orang tua

Di Semarang, saat melewati beberapa mahasiswa yang lebih senior bergerombol di lorong, beberapa kawan saya asli Jawa agak membungkukan badannya dan sembari mengucap permisi dan senyum kanan kiri. Saya pun mengikutinya.

Tentu di kampung halaman saya pun mengenal adab berkomunikasi dengan orang tua. Saat melewati orang tua kami pun permisi, namun hanya pada orang-orang yang lebih tua dan dihormati, tidak pada semua orang dengan umur yang lebih tua.

Di Semarang, saya ditegur seorang dosen karena terus-terusan menatap matanya saat sedang dinasehati mengenai permasalahan kuliah. Saya cukup terkejut, karena saya menatap matanya bukan dengna maksud menantang. Saya hanya berusaha memperhatikan tiap nasehatnya.

Begitu dosen selesai mengajar, kawan dekat saya memberitahu jika hal tersebut tak sopan di Jawa.

***

Bagi orang perantauan, terutama yang berasal dari luar pulau Jawa, terkadang cukup kesulitan menyesuaikan diri dengan adat budayanya. Bagi yang ‘keras kepala’ dan ngotot mempertahankan nilai adat budaya daerahnya dan tak berusaha memahami budaya setempat mungkin akan terus mengalami kesulitan.

Saya bertekad ingin memahami budaya Jawa lebih dalam. Bahkan saya pikir menarik jika saya dapat menguasai bahasa Jawa, selesai saya menempuh pendikikan strata 1 di Semarang.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU