“Aku ingin ke Prambanan, Malioboro, Pantai Jogan, setelah ini kesini, lalu kesana..”
Izin masih tertahan jika jawabanku tak meyakinkan dan tak mendetail. Seolah sedang menghadapi ujian skripsi didepan para dosen killer.
“Bahkan sebelum aku sempat memencet nomor mama aku yakin mama akan menelponku tiap 10 menit”.
“Tentu ma, aku tak akan bepergian kalau tak punya uang. Tapi dompetku masih cukup kosong untuk menampung uang saku dari mama.”
” Nanti aku dijemput Hana, ada Rani juga, trus Andi, Faris, Veri, terus…”
Dan aku marasa mama seperti seorang dosen yang sedang mengabsen mahasiswa-mahasiswanya. Izin tak akan keluar jika orang -orang kepercayaan mama tak ada dalam daftar itu.
Lupakan semua tulisan-tulisan yang beterbaran di internet tentang pentingnya menjadi ramah dan berkenalan dengan orang baru diperjalanan. Itu adalah hal terlarang.
Mungkin mamaku termasuk penganut prinsip persamaan gender yang taat. Beliau ingin jumlah wanita dan pria selalu setara dalam perkumpulan apapun.
“Ma, aku bisa sendiri..”
Ingin rasanya mengeluarkan KTP dan kartu mahasiswa untuk menunjukan tahun kelahiranku.
Percayalah, untuk pertanyaan ini internet benar-benar membantu. Segera booking penginapan didepan beliau sebagai bukti bahwa nanti aku tak akan tidur di pom bensin atau mushola.
Pertanyaan menjebak. Kukeluarkan buku-buku ajaran feminis dari tasku bahwa tak seharusnya cewek terus berada dirumah. Traveler cewek sudah sangat banyak sekarang. Bukan cuma cowok yang boleh bepergian. Dan setelah kuliah singkatku selesai, pertanyaan membingungkan berikutnya adalah..
Oke, diam adalah jawaban terbaik.
Satu hal yang tetap aku yakini, meski berbicara dengan nada tinggi dan seolah tak ingin aku bersenang-senang, Orang Tuaku hanya ingin aku tak bepergian dengan sia-sia dan menghamburkan uang. Karena merekalah yang sebenarnya paling memahami kebutuhan kita.
“Mereka ingin jalan-jalanku berguna dan mengubahku menjadi orang yang lebih baik”