Suatu pagi, berdiri diatas sebuah bukit dengan kabut tipis dan sekumpulan awan putih membalut langit Tana Toraja. Bentang sawah hijau, makam-makam batu yang tersebar, rumah tradisional Tana Toraja di bawah sana, bukit-bukit yang menjulang gagah – bayangkan semua itu menjadi background foto profil facebookmu.
Seorang pelayan memanaskan air dalam teko berwarna metalik. Sebuah cangkir berukuran sedang dikeluarkannya dari lemari. Pelan- pelan air panas dituangkannya ke dalam cangkir yang berisi bubuk kopi. Dimulai dari tengah, perlahan membentuk gerakan memutar ke tepian. Uap panas mengebul.
Tampilannya mirip teh pekat. Aroma wanginya tajam menusuk hidung. Saat sesapan pertama, rasanya asam, rasa pahitnya tertinggal di ujung lidah. Tak salah Kopi Toraja begitu populer hingga seantero dunia.
Deretan Tongkanan di Desa Ke’te Kesu’ mengingatkan pada sesuatu.
Bentuknya mirip tanduk kerbau. Gagah menjulang. Bambu – bambu dibelah, disusun bertumpuk untuk atapnya. Mereka dihiasi ukiran-ukiran unik – saya tak tahu berbentuk apa – berwarna merah, kuning dan hitam.
Menurut guide, Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial masyarakat Tana Toraja.
Berbeda dengan kuburan tebing batu Londa dan Lemo, Lokomata memberi panorama berbeda. Batu-batu raksasa berdiri kokoh di beberapa titik desa, bahkan ada yang terletak depan rumah-rumah warga. Batu itu dilubangi untuk menyimpan jenazah para kerabat.
Didalam sangat gelap, petromak sang guide menjadi satu-satunya sumber cahaya yang menuntun jalan. Bulu kuduk merinding, entah karena suhu gua yang cukup dingin atau memang efek mistis Londa. Tengkorak-tengkorak manusia mengintip dari celah-celah stalaktit.
Bersiaplah tertimpa musibah jika berani mencuri tengkorak dari tempat ini.
Sebelah selatan Ke’te Kesu’, tepatnya di sebuah gua batu besar berbentuk bundar seperti buah jeruk, Lemo diatas tebing berbaris miniatur-miniatur dari jasad orang meninggal, lengkap dengan baju-bajunya. Tatapan kosong mereka mengingatkan pada boneka “annabelle” di sebuah tayangan film.
Ma’tinggoro tedong, ritual sembelih kerbau saat upacara kematian di Tana Toraja. Kerbau dianggap sebagai transportasi si arwah menuju Puya, tempat perisitirahatan terakhir.
Si kerbau berwarna coklat kehitaman itu berdiri gagah. Matanya nampak pasrah. Sikapnya tenang. Sebuah anomali, dibanding saat prosesi sembelih hewan kurban saat perayaan idul adha dimana butuh 5-7 orang untuk menenangkan si hewan kurban.
Sang algojo mengangkat parangnya. Tepiannya nampak mengkilat, menunjukan ketajamannya. Dalam satu tebasan cepat di titik vital, si kerbau terkapar.
Suasananya cukup tenang – setidaknya tak sepadat daerah perkotaan – . Udara yang menyesaki hidung terasa segar dan sejuk. Nuansa syahdu dengan gemerlap lampu-lampu di sekitar kolam. Sebuah patung lakipadada yang menjadi simbol perjuangan rakyat Toraja berdiri gagah ditengah kolam. Ide baik menghabiskan malam Makale di tempat ini.
Mai’ting istimewa. Sebelum rafting harus melalui perjuangan trekking sepanjang 2 KM. Tak melelahkan, karena bonus pemandangan keindahan pematang sawah akan menghibur hati.
Sungai Mai’ting relatif masih jernih. Arus deras menggoda para pecinta adventure untuk mengarunginya. Di kanan kiri terbentang etalase alam berupa pepohonan cemara dan tebing-tebing gagah.
Teriak sekencang-kencangnya saat melewati jeram kondongan, batu menukik sepanjang 1 meter.
Beberapa bagian kulit bambu menghitam gosong. Aromanya sangat menggoda. Saat kulit bambu dikelupas, uap panasnya langsung mengebul. Aroma wanginya memenuhi ruangan.
Isinya berupa campuran sayuran dan daging ayam/babi/kerbau/ikan mas. Lemak daging yang meleleh keluar saat dibakar, menyebar merata ke seluruh bagian pa’piong. Lemak yang meleleh berpadu dengan sayur-sayuran segar menghasilkan cita rasa khas yang begitu fantastis.