Perjalanan menuju Suku Baduy Dalam, memberikan suasana berlibur yang berbeda bagi orang-orang yang tinggal di kota besar seperti saya.
Suku Baduy Dalam memiliki 3 kampung yang berdiri secara terpisah, yaitu Kampung Cibeo, Kampung Cikeusik, dan Kampung Cikertawarna. Pada umumnya, wisatawan yang berkunjung ke Baduy Dalam lebih memilih untuk bermalam di Kampung Cibeo. Dikarenakan di kampung ini lebih terbuka bagi wisatawan yang datang. Walaupun masih tetap berpegang teguh dengan larangan adat yang dilarang mengambil foto serta dilarang menggunakan bahan kimia pada saat mandi.
Tapi saya rasa Kampung Cikeusik yang jarang dikunjungi wisatawan ini adalah tempat terbaik bagi orang-orang pencari “privasi” dan ingin benar-benar menikmati keasrian Suku Baduy Dalam.
Berikut informasi yang belum kamu ketahui tentang Suku Baduy Dalam;
Adanya larangan menggunakan kendaraan seperti motor atau pun mobil, tidak membuat Suku Baduy Dalam merasa terasing dari dunia luar. Pertemuan dengan Kang Ralim warga Suku Baduy Dalam membuat saya terkagum bahwa Suku Baduy Dalam selalu berjalan kaki apabila mengunjungi kerabatnya yang tinggal di kota besar untuk bertamu maupun berjualan hasil ladang dan kerajinan tangan khas Suku Baduy Dalam.
“Pernah saya jalan kaki dari sini (Kampung Cikeusik) sampai Bekasi/ Bogor buat ketemu teman” kata Kang Ralim dengan logat nya yang unik.
Tidak seperti orang yang tinggal di kota pada umumnya yang memiliki rumah besar selalu identik dengan orang kaya, berpangkat tinggi, dan dipandang banyak orang. Lain halnya dengan Suku Baduy Dalam yang bentuk rumahnya hampir serupa satu sama lainnya. Yang membedakan status kekayaan mereka adalah tembikar yang dibuat dari kuningan yang disimpan di dalam rumah. Semakin banyak tembikar yang disimpan, menandakan status keluarga tersebut semakin tinggi dan dipandang orang.
Sifat gotong royong selalu diterapkan oleh Suku Baduy Dalam pada saat mereka harus berpindah tempat dari satu wilayah ke wilayah lain yang lebih subur. Sebagai suku nomaden (tidak memiliki tempat tetap) dan menganut sistem ladang terbuka, membuat Suku Baduy Dalam hidup saling membantu.
Tidak seperti masyarakat pada umumnya yang biasanya menyediakan menu ayam pada setiap makanan yang disajikan, tidak begitu dengan Suku Baduy Dalam. Walaupun kita bisa menemukan ayam berkeliaran bebas di kampung, bukan berarti ayam bisa menjadi makanan sehari-hari. Suku Baduy Dalam hanya menyantap hidangan ayam setidaknya 1 bulan sekali atau hanya pada saat upacara-upacara besar, seperti pernikahan dan kelahiran.
Setiap suku yang tinggal di Indonesia pasti memiliki kepala adat yang berfungsi mengatur warganya. Begitu juga Suku Baduy Dalam yang memiliki kepala adat yang biasa dipanggil Pu’un. Pu’un adalah orang yang memiliki kelebihan yang berbeda dibanding warga biasa. Tugas dari Pu’un yaitu menentukan masa tanam dan panen. Menerapkan hukum adat kepada warganya, mengobati yang sakit.
“Hanya orang-orang yang memiliki kepentingan khusus yang bisa bertemu Pu’un” Tegas Kang Ralim.
Warga Baduy Dalam menjalankan tradisi Kawalu. Kawalu adalah puasa yang dijalankan oleh warga Baduy Dalam yang dirayakan tiga kali selama tiga bulan. Pada puasa ini warga Baduy Dalam berdoa kepada Tuhan agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera.
Pada saat tradisi Kawalu dijalankan, para pengunjung dilarang masuk ke Baduy Dalam. Apabila ada kepentingan, biasanya pengunjung hanya diperbolehkan berkunjung sampai Baduy Luar namun tidak diperbolehkan menginap.
Sebuah hal yang tidak lazim dilakukan pada zaman sekarang namun masih berlaku di Suku Baduy Dalam. Seorang gadis yang sudah berumur 14 tahun akan dijodohkan dengan laki-laki yang berasal dari Suku Baduy Dalam. Selama masa penjodohan, orang tua dari laki-laki Baduy Dalam bebas memilih wanita Baduy Dalam yang disukainya. Namun jika belum menemukan pilihan yang cocok, laki-laki maupun perempuan harus menuruti pilihan sang orang tua ataupun pilihan yang diberikan oleh sang Pu’un.
Pelarangan menggunakan gelas serta piring sebagai tempat untuk menyimpan air dan alas untuk makan tidak membuat Suku Baduy Dalam kehilangan akal. Dibekali sumber daya alam yang banyak, Suku Baduy Dalam membuat gelas serta tadah air minum yang terbuat dari bambu panjang.
“Aroma khas dari bambu akan keluar pada saat kita menyeduh kopi panas di dalam cangkir bambu ini yang membuat rasa kopi menjadi berbeda.” Tegas Kang Ralim.
“Tidak banyak aktivitas yang bisa kita lakukan pada malam hari karena keterbatasan cahaya.”
“Biasanya alat musik seperti kecapi yang menemani malam kami sambil mengobrol dengan tetangga, Dengan cara seperti ini, kami sudah bahagia” Cerita Kang Ralim menggambarkan kondisi malam hari di Suku Baduy Dalam.
“Membantu orang tua berladang,” begitu ucapan Kang Ralim terhadap pertanyaan yang saya ajukan mengenai cita-cita orang tua terhadap anak-anak Suku Baduy Dalam.
Tak muluk-muluk bukan? Sangat sederhana jika didengar oleh telinga orang ‘modern’ seperti saya, namun justru di situ kearifan lokal mereka. Hal-hal sepele yang sering terlupa oleh kita, ‘ketidak neko-neko-an’ dan prinsip hidup yang sederhana membuat hidup lebih bahagia dan tenang.